Organisasi Perempuan Masa Pergerakan
PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DALAM SEJARAH PERGERAKAN
INDONESIA: GERAKAN SOSIAL PUTRI MARDIKA (1912)
Mustika Dewi Kartika,
Desmond Alim Pratama, Faza Ali Profan, Tyas Ambar Parisqi[1]
ABSTRAK
Tidak banyak
perempuan yang mendapatkan pendidikan dan kesetaraan gender pada masa penjajahan
hingga awal kemerdekaan. Dengan adanya permasalahan tersebut didirikanlah
perkumpulan atau organisasi yang khusus
untuk menangani masalah-masalah perempuan dan anak, hingga akhirnya organisasi
tersebut menjadi gerakan sosial. Gerakan sosial berkaitan dengan perempuan yang
pertama ada di Indonesia adalah Putri Mardika. Dalam penulisan artikel ilmiah
ini pendekatan atau metode yang dipakai adalah penelitian kepustakaan atau
studi literasi. Hal ini dipilih karena banyaknya sumber atu literatur yang
relevan, yang dapat digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini. Dengan studi
literatur yang digunakan, terdapat penemuan-penemuan seperti resistensi yang
dilakukan oleh kaum perempuan tidak harus dilakukan dangan saluran politis,
namun dapat dilakukan dengan pendekatan sosial. Selain itu banyak perempuan,
terutama yang memperoleh pendidikan yang baik, merasa peduli dengan
perempuan-perempuan lain yang tidak mampu mengembangkan dirinya dalam segi
pendidikan. Dengan mengetahui bagaimana gerakan sosial perempuan serta perjuangan
perempuan pada masa pergerakan nasional, akan mampu menginspirasi perempuan
lain untuk terus melanjutkan memperjuangkan hak-hak perempuan.
Kata Kunci: Perempuan,
Gerakan Sosial, Organisasi, Putri Mardika
ABSTRACT
Not many women get an education and gender equality in
the colonial period up to the beginning of independence. Given these problems
associations or organizations established specifically to deal with the
problems of women and children, until finally the organization into a social
movement. Social movements related to the first woman in Indonesia is Putri
Mardika. In writing this scientific article the approach or method used is
research literature or literary studies. This was chosen because of the many
sources or in the relevant literature, which can be used in the writing of this
scientific article. With the study of literature is used, there are discoveries
such as resistance carried out by women should not be made a political channel
invitation, but can be done with a social approach. In addition, many women,
especially those who get a good education, being concerned with other women who
are not able to develop itself in terms of education. By knowing how the social
movements of women as well as women's struggle during the national movement,
will be able to inspire other women to continue to fight for women's rights.
Keywords: Women, Social Movements, Organizations, Putri Mardika
PENDAHULUAN
Dari masa penjajahan Bangsa Barat, Jepang, bahkan
hingga masa yang berjaya akan teknologi seperti pada saat ini, perempuan selalu
dipandang lemah dan tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Hal tersebut
tidak lepas dari aspek historis yang telah lama ditanamkan oleh leluhur
terdahulu. Telah tertanamnya ajaran bahwa perempuan hanya sebagai ibu dari
anak-anaknya dan juga istri yang melayani suaminya. Apalagi pada masyarakat
Jawa dengan adanya istilah macak, masak,
lan manak (bersolek, memasak dan melahirkan) yang mana telah mengakar dalam
diri dan budaya masyarakat Jawa. Dengan adanya istilah tersebut maka peran
perempuan dibatasi oleh adat istiadat dan hanya boleh melakukan apa yang sudah
menjadi aturan di dalam masyarakat. Sedikit banyak, adat istiadat dan budaya
Jawa telah mengahambat perempuan dalam mengembangkan dirinya serta membuat
perempuan hanya memiliki peran yang sangat kecil di dalam masyarakat.
Peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari juga
diutarakan oleh Abdullah. Abdullah (dalam Hermawati, 2007:21) menyatakan bahwa
“perempuan masih dianggap the second
class yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadannya tidak
begitu diperhitungkan. Implikasi dari konsep dan common sense tentang
pemosisian yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor
kehidupan ke dalam sektor “domestik” dan sektor “publik”, dimana perempuan
dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik sementara laki-laki
ditempatkan dalam sektor publik. Ideologi semacam ini telah disyahkan oleh
berbagai pranata dan lembaga sosial, yang ini menjadi fakta sosial tentang
status dan peran yang dimainkan oleh perempuan”. Jelas bahwa perempuan memiliki
batas-batas yang dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hal tersebut juga
tertuang dalam budaya dan adat istiadat pada masyarakat Jawa yang memandang
perempuan tidak bisa “melebihi” laki-laki.
Mengenai budaya perempuan Jawa, Sadli (2010:41)
berpendapat bahwa “perlu diingat, dalam proses menjadi perempuan, tidak mudah
lagi untuk membedakan perilaku dan sifat mana yang termasuk kodrat (nature) dan mana yang telah menjadi
bagian dari diri sebagai hasil belajar (nurture/culture).
Sulitnya pembedaan ini menyebabkan, dalam kehidupan sehari-hari, kodrat dan
hasil belajar dicampuradukkan. Masalah kemudian muncul karena apa yang disebut
sebagai kodrat perempuan sering kali dipakai untuk membatasi apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dianggap tidak perlu dilakukan karena seseorang
dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan”. Perempuan Jawa terikat dan sangat
sulit dalam melepaskan diri dari aturan yang dianggap sebagai kodrat, sehingga
apa yang seharusnya didapatkan perempuan Jawa pada masa sebelum kemerdekaan
tidak mampu dinikmati oleh banyak perempuan pada masa itu.
Perempuan di Indonesia sejak tahun 1600 hingga 1800an
tidak memiliki kemampuan lain diluar perannya sebagai ibu dan istri. Adanya
kekangan dan perbedaan perlakuan dari lingkungan sekitar, membuat perempuan di
zaman itu berusaha untuk mencari cara agar diakui di dalam masyarakat. Hak
tersebut berhubungan dengan perannya di dalam masyarakat dan lingkungan. Diskriminasi
tersebut sangat kentara pada bidang pendidikan. Para perempuan pada zaman
penjajahan Belanda sangat asing dengan pendidikan. Mereka yang bukan keturunan
bangsawan atau priyayi tidak memiliki keterampilan ataupun mendapatkan
pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, banyak perempuan yang mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangganya. Hingga akhirnya tercetuslah ide emansipasi
yang dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini pada akhir tahun 1800 hingga awal
1900an. Emansipasi yang dicetuskan oleh R.A. Kartini adalah adanya kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan pada zaman itu.
Semakin lama, banyak bermunculan perempuan-perempuan
yang terinspirasi oleh Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan baik
dalam segi pendidikan maupun dalam tatanan adat istiadat dan budaya masyarakat
khususnya masyarakat Jawa. Wahyuningsih (2013:50) menyatakan bahwa “pada
dasarnya feminisme adalah paham atau pandangan yang menentang kenyataan yang
muncul dalam masyarakat bahwa perempuan tidak lebih lemah dari laki-laki.
Mereka menganggap perempuan memiliki martabat dan harkat yang sama dengan
laki-laki. Secara jenis kelamin memang berbeda, tetapi hak dan kewajiban
sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya”. Adanya paham yang menentang
kenyataan tersebut membuat beberapa perempuan berusaha lebih keras untuk
menunjukkan dirinya sebagai makhluk sosial dengan membangun
perkumpulan-perkumpulan yang melahirkan gerakan sosial. Adanya
kelompok-kelompok dan organisasi perempuan yang berdiri pada awal tahun 1900an,
semakin memudahkan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dan mengatasi
permasalahan-permasalahannya. Salah satu organisasi perempuan pertama yang
berdiri adalah Putri Mardika dan organisasi ini berdiri pada tahun 1912.
Banyak cara yang ditempuh dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan pada masa itu, salah satu caranya adanya melalui gerakan sosial.
Gerakan sosial yang dilakukan bertujuan agar perempuan-perempuan yang tertindas
dan kehilangan hak-haknya dapat menyuarakan pendapatnya. Selain itu gerakan
sosial dipilih agar perempuan-perempuan pada tahun 1912 hingga tahun 1942, yang
dikenal dengan masa pergerakan nasional, terhindar dari praktik-praktik dan
juga kepentingan politik pada masa itu. Gerakan sosial perempuan ini, khususnya
organisasi Putri Mardika lebih memilih jalan kooperatif yaitu bekerjasama
dengan pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan memajukan para
perempuan di Indonesia.
TUJUAN
PENELITIAN
Pada masa awal kemerdekaan hingga akhir dari Orde
Baru, banyak peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang dituliskan oleh para
sejarawan di Indonesia. Hampir semua sejarawan menuliskan tentang bagaiman
kebesaran seorang pemimpin atau seorang tokoh besar. Namun pada masa itu banyak
sejarawan yang mengesampingkan sejarah kaum kecil seperti petani, buruh, supir,
masyarakat awam, bahkan perempuan. Padahal banyak perempuan yang terlibat dan
juga berperan dalam sejarah Indonesia. Hal tersebut membuat banyak sejarawan
mengkritisi terutama dengan adanya pemikiran bahwa sejarah juga merupakan milik
rakyat kecil, bukan hanya penguasa atau tokoh besar. Hingga saat itu banyak
tulisan sejarah yang mengambil tema perempuan sebagai fokus utama.
Namun kebanyakan tulisan-tulisan tersebut memiliki
kepentingan politik di dalamnya. Sejarah tidak hanya sejarah politik atau
penguasa, namun banyak aspek lain di luar politik yang melatarbelakangi suatu
peristiwa sejarah. Artikel ini dibuat untuk melihat perempuan dan gerakan yang
dilakukannya ditinjau dari segi sosial. Bagaimana gerakan tersebut
mengorganisir dan berjuang untuk memajukan perempuan Indonesia yang memiliki
kemampuan yang sangat rendah. Di dalam artikel ini juga berisikan mengenai
organisasi perempuan pertama di Jawa yaitu Putri Mardika yang mana tidak banyak
masyarakat awam yang tahu tentang organisasi perempuan pertama ini. Sebagaimana
organisasi perempuan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan hal yang
memperjuangkan hak-hak para perempuan Indonesia. Artikel ini juga bertujuan
untuk mengulas secara dalam gerakan Putri Mardika yang berisikan para
perempuan-perempuan yang memiliki derajat tinggi dan berpendidikan dimana
perempuan-perempuan tersebut ingin memperjuangkan hak-hak perempuan yang lain.
METODE
PENELITIAN KEPUSTAKAAN
Di dalam penulisan artikel ilmiah bertemakan gerakan
sosial perempuan pada masa pergerakan ini, metode yang digunakan adalah metode
kepustakaan. Metode penelitian kepustakaan sendiri merupakan salah satu metode
disamping metode penelitian lapangan, yang mana metode penelitian kepustakaan
ini lebih mengutamakan sumber-sumber dari perpustakaan. Zed (2008:1-2)
mengungkapkan bahwa “riset pustaka sekaligus memanfaatkan sumber perpustakaan
untuk memperoleh data penelitiannya. Tegasnya riset pustaka membatasi
kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan
riset lapangan”. Zed (2008:3) juga menyatakan bahwa “apa yang disebut dengan
riset kepustakaan atau sering juga yang disebut studi pustaka, ialah serangkain
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian”.
Dengan studi pustaka atau metode penelitian
kepustakaan (library research),
peneliti mengumpulkan beberapa literatur yang berhubungan dengan gerakan sosial
serta organisasi Putri Mardika. Metode penelitian kepustakaan akan mampu
terwujud jika data atau literatur yang dubutuhkan sesuai dan relevan dengan apa
yang dikaji.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perjuangan
perempuan yang mulai muncul pada tahun 1912. Gerakan ini tidak tiba-tiba
muncul, namun didasarkan pada pengalaman sejak zaman dahulu. Burke (2015:134)
berpendapat bahwa “beberapa gerakan ini digambarkan sebagai “aktif”,
berinisiatif mengejar tujuan yang spesial, seperti kemerdekaan nasional,
penghapusan perbudakan, atau suara tentang kewanitaan”. Gerakan sosial sendiri
selalu dikaitkan dengan tindakan perlawanan atau resistensi yang dilakukan oleh
sejumlah orang, kelompok, atau lembaga. Singh (dalam Sukmana, 2016:29)
menyatakan bahwa “gerakan-gerakan sosial mengekspresikan usaha-usaha kolektif
masyarakatnya untuk menuntut kesetaraan dan keadilan sosial, dan mencerminkan
perjuangan-perjuangan masyarakatnya untuk membela identitas-identitas dan
warisan-warisan kultural mereka. Gerakan sosial dan aksi kolektif telah menjadi
sebuah kekuatan universal dari lembaga dan aksi historis dalam masyrakat. Oleh
karena itu, gerakan sosial dan aksi sosial tidak hadir begitu saja dalam
masyarakat, tetapi kemunculannya seiring dengan adanya suatu konflik dan
pergulatan-pergulatan di seputar persoalan ketimpangan, dominasi, kebebasan dan
keadilan sosial”.
Merujuk pada gerakan sosial menurut Singh di atas dan
alasan mengapa adanya gerakan sosial, banyak faktor yang menyebabkan munculnya
gerakan sosial pada awal tahun 1900an. Beberapa faktor-faktor tersebut adalah
rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh perempuan, tindak kekerasan yang
dialami oleh banyak perempuan, keterampilan yang rendah, perlakuan berbeda pada
kaum perempuan yang tidak memiliki peran dalam lingkungan sosial. Masalah yang
paling mendasar dalam kasus gerakan sosial perempuan di Indonesia adalah tidak
adanya keadilan dalam hal pendidikan bagi perempuan dari zaman dahulu hingga
sekarang. Burke (2015:68) menyatakan “salah satu konsep sosiologi yang paling
sentral adalah “peranan sosial”, yang didefinisikan dalam pengertian pola-pola
atau norma-norma perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki suatu
posisi tertentu dalam struktur sosial”. Konsep peranan sosial yang dikemukakan
Burke tersebut juga dapat digunakan sebagai dukungan untuk para perempuan dalam
menuntut hak-haknya sebagai seseorang yang pantas berada di dalam struktur
sosial masyarakat. Selain itu faktor lain yang menyebabakan adanya gerakan
perempuan dijelaskan oleh Aripurnami. Aripurnami (2013:211) menyatakan bahwa
“faktor lain yang memunculkan gerakan perempuan pada masa ini adalah krisis
ekonomi-politik yang disebabkan oleh kolonialisme. Kolonialisme atau penjajahan
mengakibatkan penghisapan, eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja
manusia”.
Dengan adanya ide mengenai emansipasi, para perempuan
yang semula pasif dan hanya pasrah terhadap aturan mulai menyuarakan suaranya.
Hal tersebut dibuktikan dengan didirikannya organisasi-organisasi perempuan
yang semakin banyak. Hal tersebut membuat demokrasi kian dekat dengan kehidupan
perempuan. Sularto (2001:102) menyatakan “wacana tentang masalah feminisme dan
demokrasi mengalami perkembangan dengan aktifnya perempuan di dalam gerakan-gerakan
sosial dan politik untuk menuntut hak-hak politik perempuan. Hal itu ada
kaitannya dengan naiknya gerakan perempuan secara terorganisir. Di dalam dekade
terakhir gerakan perempuan, berkembang semakin kuat dan bermacam-macam model
perjuangan sebagai aktualisasi kepentingan perempuan”. Namun berbeda dengan
organisasi perempuan yang ada pada tahun 1912 hingga awal kemerdekaan yang
tidak ikut berpartisipasi pada kancah politik. Muljana (2008:309) menyatakan
bahwa “perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia semula juga bersifat
apolitis; tidak ikut mencampuri soal politik. Sifatnya sosial-ekonomi”.
Mengenai gerakan sosial ini Burke menyatakan ada tiga
pertanyaan mendasar ketika membahas gerakan sosial yaitu yang pertama siapa
yang bergerak, bagaimana pemimpinnya, dan bagaimana pengikutnya. Yang kedua
adalah apa yang menjadi tujuan bersama dan yang ketiga adalah apa yang membuat
suatu gerakan lebih sukses dari gerakan yang lain. Putri Mardika sendiri ada
setelah berdirinya Budi Utomo yang merupakan oranisasi nasional yang pertama. Ohorella
(1992:6) menyatakan “setelah berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 disusul
dengan penyelenggaraan kongres-kongresnya, dampak positifnya terutama terhadap
wanita terpelajar semakin luas. Usaha untuk mengikuti jejak Budi Utomo
cenderung meningkat. Pada tahun 1912, berdiri Putri Mardika dengan dukungan
kuat dari Budi Utomo”. Putri Mardika juga merupakan organisasi perempuan
pertama yang ada di Jawa dan memberikan dampak yaitu memunculkan gerakan serta
organisasi-organisasi perempuan yang lain.
Putri Mardika sendiri memiliki beberapa tokoh yang
berperan penting dalam perjalannya yaitu R.A. Sabaruddin, R.A. Sutinah
Joyopranoto, dan R.R. Rukmini. Perempuan-perempuan tersebut tergerak untuk
membuat perempuan lain memiliki kehidupan yang lebih baik. Murniati (2004:123)
menyatakan bahwa “di kalangan perempuan banyak organisasi muncul karena
semangat perempuan sebagai pribadi, bukan karena sebagai istri dari suami atau
anak dari bapak yang merupakan tokoh masyarakat”. Tentunya sebagai perempuan
yang terpelajar, pada tokoh-tokoh tersebut merasa memiliki kewajiban untuk
membantu sesama perempuan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada masa
ini banyak organisasi-organisasi yang bermunculan seperti Kautaman Istri,
Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo, Aisyah dan beberapa organisasi
lain, namun memiliki tujuan yang sama yaitu memajukan kehidupan perempuan dan
membantu perempuan dalam mendapatkan hak-haknya.
Banyaknya
permasalahan yang dialami oleh perempuan, membuat Putri Mardika membuat
terobosan-terobosan baru untuk memajukan perempuan. tentunya
terobosan-terobosan tersebut dianggap benar dan tepat jika diterapkan pada masa
tersebut, dimana banyak perempuan yang masih terikat kuat dengan kebudayaannya.
Terobosan tersebut direalisasikan dalam bentuk tujuan gerakan sosial Putri
Mardika. Salah satu tujuan Putri Mardika dinyatakan oleh Abdoerachman (dalam
Robinson, 2009:39) bahwa “Putri Mardika
published a magazine that took up the issues of child marriage, polygamy and
forced marriage: ‘If only our association could help to bring to an end. . .
this custom of ours which allows young girls, scarcely out of infancy, to be
forced to marry a man they do not know and even a man who they cannot love’” (Putri
Mardika menerbitkan majalah yang mengangkat isu-isu pernikahan anak, poligami
dan perjodohan: ‘Jika hanya perkumpulan kami yang mampu mengakhirinya. . .
tradisi kita yang membiarkan gadis-gadis muda, yang hampir tidak merasakan masa
kanak-kanak, harus dijodohkan untuk menikahi pria yang tidak mereka kenal dan
bahkan dengan pria yang tidak mereka sukai). Mursidah (2012:89) menyatakan
“gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20
banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang lebih
luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi”.
Tujuan lain dari organisasi yang didirikan di Jakarta
ini adalah memberikan keadilan dan juga pendidikan bagi kaum perempuan. Suryochondro
(dalam Dewi, 2015:31) menyatakan bahwa “the
aim of Putri Mardika was to provide assistance to indigenous girls for
schooling, to facilitate greater involvement of women in the public sphere and
to elevate the status and dignity of women to a level equal to that of men”
(tujuan Putri Mardika adalah untuk memberikan bantuan kepada anak-anak pribumi
untuk sekolah, untuk memfasilitasi keterlibatan perempuan dalam ranah publik
dan untuk meningkatkan status dan martabat wanita ke tingkat yang sama dengan
laki-laki). Muljana (2008:309) menyatakan bahwa “perkumpulan Putri Mardika
bertujuan untuk memajukan pendidikan anak-anak, terutama anak-anak perempuan”.
Kowani (dalam Chayani, Swastika, & Sumarjono, 2015:9) menjelaskan
“organisasi ini bertujuan memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan kepada
gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan menyatakan pendapat di muka umum,
memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang mulia, memberi beasiswa, menerima
anggota pria dan menerbitkan majalah bulanan Putri Mardika. Organisasi ini
diketuai oleh R.A. Theresia Sabaroedin dan wakil ketua R.A. Sutinah
Joyopranoto”.
KESIMPULAN
Perempuan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang
dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan yang diakui di dalam
masyarakat. Banyak permasalahan yang dialami oleh perempuan pada masa
penjajahan hingga masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga saat ini
masih banyak hak-hak perempuan yang dilanggar dan kesampingkan. Bedanya jika
pada saat ini permasalahan yang kerap kali dialami oleh banyak perempuan adalah
masalah kekerasan dan juga tindak asusila, pada zaman penjajahan hingga masa
sebelum kemerdekaan permasalahan yang dialami oleh perempuan Indonesia lebih
kompleks. Mulai dari kurangnya pendidikan yang diperoleh oleh perempuan, tidak
adanya keadilan terutama perlakuan terhadap perempuan, pernikahan dini dan
perjodohan. Masalah gender merupakan yang paling sering terjadi. Hak-hak yang
seharusnya dimiliki oleh perempuan seperti menyuarakan pendapat atau terjun di
dalam bidang politik, sama sekali tidak didapatkan oleh para perempuan pada
masa itu.
Dengan adanya perkumpulan atau organisasi yang
memecahkan masalah-masalah perempuan dan juga menjaga hak-hak perempuan,
berpengaruh besar pada kehidupan perempuan terutama pada masa sebelum
kemerdekaan. Perempuan-perempuan yang turun tangan dalam membantu sesamanya
tentu saja merupakan perempuan yang mempunyai pengaruh baik di lingkungan
tempat tinggalnya atau perannya dalam struktur sosial di masyarakat setempat.
Buktinya pada perkumpulan-perkumpulan terdapat perempuan yang masih keturunan
bangsawan atau priyayi atau istri dari priyayi. Organisasi perempuan pertama
yang ada di Jawa adalah Poetri Mardika atau Putri Mardika. Putri Mardika
didirikan di Jakarta dengan didukung penuh oleh Budi Utomo yang berupakan
organisasi nasional yang pertama. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk
bergerak pada bidang sosial, terutama menyangkut perempuan dan anak-anak.
UCAPAN
TERIMAKASIH
Dalam
penulisan artikel ilmiah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas ridho-Nya lah, artikel ilmiah ini bisa terselesaikan
dengan baik. Daya Negri Wijaya, S.Pd, M.A yang merupakan pembimbing dalam
penulisan artikel ilmiah ini. Orang tua yang selalu memberikan do’a agar
pembuatan artikel ini berjalan dengan baik dan lancar. Dan tidak lupa teman-teman
Offering C Pendidikan Sejarah 2014 yang selalu memberikan dorongan dalam
menyelesaikan artikel ilmiah mengenai gerakan sosial perempuan pada masa
pergerakan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Burke, P. 2015. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Dewi, K Hastuti.
2015. Indonesian Women and Local
Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. Singapore:
NUS Press.
Muljana, Slamet.
2008. Kesadaran Nasional: Dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid I. Yoyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Murniati, A.
Nunuk P. 2004b. Getar Gender.
Magelang: Yayasan Indonesia Tera.
Ohorella, G.A.,
Sutjiatiningsih, Sri., Ibrahim, Muchtaruddin. 1992. Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Robinson,
Kathryn. 2009. Gender, Islam, and
Democracy in Indonesia. London and New York: Routledge Taylor & Francis
Group.
Sadli,
Saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara:
Pemikiran Tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sukmana, Oman.
2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial.
Malang: Intrans Publishing.
Sularto, St
(ed.). 2001. Masyarakat Warga dan
Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Yogyakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Zed, Mestika.
2008. Metode Penelitian Kepustakaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal
Aripurnami,
Sita. 2013. Jelajah Gerakan Perempuan untuk Demokrasi di Indonesia. Afirmasi.
Vol. 2, (Jan., 2013), p. 211.
Cahyani, Siwi
T.F., Swastika, K., Sumarjono. 2015. Perjuangan
Organisasi Perempuan Indonesia Menuntut Hak Pendidikan Pada Masa Kolonial
Belanda Tahun 1912-1928. Artikel Ilmiah Mahasiswa I (1). (2015), p. 9.
Hermawati,
Tanti. 2007. Budaya Jawa dan Kesetaraan
Gender. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1 (Juli., 2007), p. 21.
Mursidah. 2012.
Gerakan Organisasi Perempuan Indonesia Dalam Bingkai Sejarah. Muwazah. Vol. 4,
No. 1 (Juli., 2012), p. 89.
Wahyuningsih,
Fahmi. 2013. Perjuangan Tokoh Emansipasi
Perempuan Indonesia dan Jerman. Lentera, Jurnal Studi Perempuan. Vol. 9,
No. 1 (Juni., 2013), p. 50.
Komentar
Posting Komentar