A. Indonesia
Dibawah Kekuasaan Jepang
Indonesia
jatuh ke dalam kekuasaan Jepang saat kekalahan Belanda dalam Perang Asia
Pasifik dan ditandai dengan menyerahnya Belanda dalam perundingan di Kalijati,
8 Maret 1942. Kemudian dibentuklah sebuah pemerintahan militer yang di bagi
menjadi tiga wilayah pendudukan, yaitu:
1. Pemerintah
Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatra dengan pusatnya di
Bukittinggi.
2. Pemerintah
Militer angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura dengan pusatnya di
Jakarta.
3. Pemerintah
Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerahyang meliputi
Sulawesi, Borneo, dan Maluku dengan pusatnya di Makassar (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010:
14).
Pada
bulan Agustus 1942 dibentuk lagi Pemerintahan Militer dan menggantikan
Pemerintah Sementara sebelumnya. Pemerintahan di Pulau Jawa dibagi menjadi 17
daerah, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang,
Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan
Madura. Pembagian wilayah atas provinsi dalam pemerintahan Hindia-Belanda
sebelumnya, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dihapus oleh
Jepang.
Pemerintahan
di Sumatra dibagi menjadi 10 daerah, diantaranya adalah Aceh, Sumatra Timur,
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, Bangka, dan
Belitung. Jika di Jawa Provinsi dan jabatan Gubernur dihilangkan berbeda dengan
Sumatra. Di wilayah Sumatra dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatra Utara,
Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Pada masa Hindia-Belanda, Sumatra berpusat
ke Batavia akan tetapi di masa Jepang, Sumatra berpusat ke (Shonanto) Singapura dan pada 1943
barulah dibentuk pemerintahan pusat Sumatra di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Kemudian untuk Pemerintahan Militer Armada Selatan Kedua yang berpusat di
Makassar dibagi menjadi tiga, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (kemudian
dipindahkan ke Sunda Kecil).
Dengan
kedatangan Jepang ke Indonesia ini dianggap oleh beberapa orang pribumi sebagai
penyelamat atau pembebas dari penjajahan bangsa Belanda. Hal ini dianggap
sebagai angin segar bagi sebagian orang. Beberapa tokoh yang memilih untuk
bekerjasama dengan pihak Jepang adalah Soekarno, Hatta, Muh. Yamin, Sartono dan tokoh yang
tidak sepakat untuk menjalin kerjasama dengan Jepang adalah Sjahrir dan Tjipto
Mangunkusumo.
Dengan
melihat keadaan ini Jepang mengambil tindakan dengan mendirikan beberapa
organisasi untuk menarik dan merangkul tokoh-tokoh masyarakat Indonesia
seperti, Poetra (Poesat Tenaga Rakjat), Jawa
Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Fujinkai,
Heiho, Peta, dan Chuo Sang In.
Beberapa organisasi di atas sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari pihak
Jepang untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Pasifik.
B.
Perlawanan
Bersenjata Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Perlawanan yang terkenal dan terlihat
jelas dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah Revolusi Fisik adalah bentuk
revolusi fisik. Seperti yang disampaikan oleh Ricklefs (1991: 317) bahwa, zaman
revolusi fisik merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah
Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan dengan berbagai
pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia.
1.
Kalangan Agama
Pelecehan
terhadap agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia menimbulkan
kekecewaan yang berakhir dengan perlawanan terbuka. Kebiasaaan orang Jepang
yang mendewakan kaisarnya dengan penghormatan membungkukkan badan ke Istana
Kaisar di negeri Jepang, yang dikenal dengan sebutan seikeirei sangatlah
bertentangan dengan agama Islam. Seikeirei yang wajib dilakukan pada
upacara-upacara mirip dengan melakukan rukuk pada saat umat Islam melakukan
sembahyang umat Islam, yang wajib disembah hanya Allah yang tidak tampak bukan
manusia yang ada di depannya.
Pertama-pertama
Abdul Karim Amrullah, penasihat pada Shumubu
(Kantor Urusan Agama), yang mengemukakan penyembahan kaisar itu tidak dapat
disatukan dengan monoteisme Islam protes Amrullah diperlihatkannya pada suatu
pertemuan 59 kiai seluruh Jawa di Bandung, pimpinan Kolonel Horie pada tahun
1943. Amrullah satu-satunya orang Indonesia yang waktu itu ditempatkan di
antara para perwira Jepang, yang tetap duduk ketika para hadirin dan lainnya
bangun berdiri untuk melakukan seikeirei. Pemerintah Militer Jepang tidak
mengambil reaksi keras saat itu, tetapi hanya menekankan perbedaan antara
penyembahan kepada kaisar dan yang diberikan umat Islam kepada Allah. Meskipun
demikian, Pemerintah Militer Jepang tidak memutuskan untuk menghapuskan
seikeirei bagi umat Islam pada upacara-upacara resmi, misalnya pada acara
pembukaan kursus-kursus maupun pelatihan para kiai dan ulama pada bulan Juli
1943.
Pada Akhirnya umat Islam di
Indonesia melakukan perlawanan terbuka atau perlawanan bersenjata yang
bermotifkan agama dan dilakukan pertama kali di Aceh setelah delapan bulan tentara
jepang masuk ke daerah ini. Perlawanan terjadi di Cot Plieng Bayu, dekat Lhok
Seumawe Ulama disana mengobarkan semangat jihad dan mati. Rakyat Aceh
dianjurkan membaca Hikayat Perang Sabil dalam khotbah-khotbah ia mengatakan
jepang adalah majusi (keuparat biek
majusi), sedangkan Belanda dikatakan kafir berkitab (kaphee meukitab). Ia menentang pula kewajiban melakukan seikeirei yang dianggapnya mengubah
kiblat ke arah matahari.
Pada tanggal 13 November, Jepang
meneruskan seranganya ke tempat Abdul Djalil beserta para pengikutnya
menyingkir, yakni di Blang Gampong Teungah. Abdul Djalil tewas di tempat ini
bersama 19 orang pengikutnya, sedangkan 5 orang lainnya ditangkap.
K.H.
Zaenal Mustafa dari Tasikmalaya menganggap Jepang adalah musuh bangsanya karena
itu ia tidak mau bekerja sama dengan penguasa. Ia juga tidak mau melakukan
seikerei. Ia pun menolak beberapa kali permintaan untuk menemui komandan
Kenpeitai Tasikmalaya sehubungan dengan tindakannya. Penolakan itu diikuti
dengan penyergapan, yang mengakibatkan tiga orang di antara empat orang anggota
kenpeitai terbunuh, sedangkan satu orang berhasil melarikan diri ke dalam
keadaan luka. Sebagai akibatnya, pertempuran yang tidak seimbang terjadi antara
pasukan santri bersenjata tradisional dengan pasukan Jepang bersenjatakan
modern. Setelah perlawanan, pimpinan Zaenal Mustafa dipatahkan oleh Jepang, ia
dan sejumlah besar pengikutnya ditangkap sesuai dengan keputusan Mahkamah
Militer Jepang di Jakarta, 79 orang dipenjara di Sukamiskin, Bandung dan 23
orang di penjara Cipinang, Jakarta, di antaranya Zaenal Mustafa. Ia bersama 17
orang lainnya akhirnya dibunuh Jepang di penjara ini, 5 orang lainnya meninggal
akibat siksaan. Jumlah seluruhnya 198 orang termasuk yang tewas dalam
pertempuran di pihak Jepang yang tewas 3 orang dan 20 orang luka-luka.
2. Perlawanan
di Kalangan Militer
Selama
pelatihan kemiliteran pertama berlangsung, Pasukan Jepang dari rakyat Blitar
dipisahkan dari masyarakat setelah pelatihan dasar kemiliteran selesai, mereka
mendapatkan kelonggaran untuk menemui keluarganya masing-masing. Pada saat itu
mereka mendengar penderitaan para petani yang dipaksa menjual padinya kepada kumiai-kumiai (organisasi pembelian
padi) melebihi jatah yang telah ditentukan sehingga sisanya tidak cukup
menghidupi keluarganya. Mereka pun mendengar Jepang telah memerintahkan
pembelian telur secara besar-besaran dengan harga murah. Kekecewaan semakin
meningkat pada saat tentara PETA bertugas mengawasi pekerjaan para romusha yang mirip kerangka
berjalan dikumpulkan dan dipaksa bekerja berat dari pagi sampai sore
hampir-hampir tanpa istirahat dan tanpa bayaran makanan dan bantuan kesehatan
yang didapatkan para romusha sangatlah minim sehingga separuh dari mereka jatuh
sakit dan meninggal dalam waktu singkat pada akhir tahun 1944.
Sebelum Daidancho Soerachmad
meninggalkan
kota menyusul teman-temannya demikian pula Budancho Sunanto, sebelum
meninggalkan asrama ia memerintahkan anak buahnya menurunkan spanduk yang
bertuliskan Indonesia akan Merdeka dan merobek kata ‘akan’ dengan pedagangnya
setelah spanduk itu yang kemudian dipasang kembali di tempat semula, salah satu
di antara mereka, yakni Shodancho Supriyadi merupakan pemrakarsa perlawanan.
Supriyadi adalah salah satu pemuda atau pelajar yang berjuang akibat menyadari
penderitaan rakyat Indonesia, seperti menurut Susanto (1985: 10), “Para
pelajaar dan mahasiswa yang pada waktu itu mendapat kesempatan latihan kemiliteran
dari pihak Jepang, menyadari akan penderitaan bangsa Indonesa”. Sudancho Supriyadi baru berhasil meyakinkan
teman-temanya untuk memulai pemberontakan pada rapat yang keenam petang hari
tanggal 13 Februari mereka sepakat akan meninggalkan kota Blitar dan akan
bertahan di lereng Gunung Kelud di sebelah utara kota sambil berusaha
menggerekkan pasukan di sekitarnya untuk ikut berontak. Dini hari tanggal 14
Februari 1945 pecahlah pemberontakan, yang diawali dengan menembaki
sasaran-sasaran yang sudah ditentukan yakni kerumah para pelatih maupun gedung
kenpeitai dan sebuah hotel Jepang kemudian pasukan bergerak ke luar kota dalam
empat rombongan. Tiga rombongan menuju Gunung Kelud, sedangkan rombongan
keempat kearah hutan Lodoyo selama dalam perjalanan para pemberontak telah
membunuh beberapa orang Jepang. Dalam usaha menumpas pemberontakan, Jepang
mengarahkan pasukan pribumi yakni daidancho
Blitar yang tidak diikutsertakan dalam pemberontakan dan Katagiri Butai
(Rasimen Katagiri) Peta maupun Heiho
dari tempat-tempat lain,bersama-sama dengan pasukan Katagiri Butai dari Malang
bergerak mengepung kaum pemberontak (Soerachmad, 1945).
Pada
waktu itu pihak Jepang hanya mempunyai dua resimen di Pulau Jawa, sehingga
tidak berani menanggung risiko dengan cara menggempur, tetapi milih jalan
perundingan. Dalam perundingan kelompok terbesar di bawah pimpinan Muradi,
komandan resimen Jepang di Malang, Kolonel Katagiri, menjajikan pengampunan
kepada mereka namun janji tersebut tidak ditepati oleh Jepang. Setelah
mengalami beberapa kali pemeriksaan disertai dengan siksaan di Blitar, pemimpin
utama pemberontakan dibawa ke Jakarta dan diadili oleh Mahkamah Militer Jepang
setelah bersidang selama tiga kali, akhirnya Mahkamah militer menjatuhkan
hukuman penjara yang paling rendah dua tahun, seumur hidup sebanyak tiga orang
sedangkan enam orang lainnya dipidana mati. Mereka adalah chu dancho dr. Ismangil shodancho Muradi, shodancho Suparjono, dan tiga budancho
bernama Sunanto, Halir Mangkudjajaja, dan Sudarmo tidak hanya tentara Peta
Blitar, tetapi juga tentara giyugun di Aceh mengadakan perlawanan yang terjadi
di Jangka Buaya, pada bulan November 1944 dipimpin oleh seorang perwira giyugun
Tengku Hamid.
Tengku Abdul Hamid menggerakkan dua
peleton anggota giyugun ke gunung diatas kampong Beuracan tuntutannya agar
Nemoto dipindahkan dari jangka buaya berakibat jepang bertindak cepat jepang
mengepung asrama giyugun menyandera keluarga anggota yang meninggalkan asrama
sedangkan anggota yang tidak meninggalkan asrama mengadakan perundingan dengan
pihak jepang. Sesuai dengan kesepakatan, Tengku Hamid menghentikan rencana
perlawannya dan kembali ke asramanya di Jangka Buaya. Jepang pun mengganti
Letnan Nemoto dengan perwira lain. Akan tetapi, menurut sumber lain, Tengku
Hamid dan anak buahnya menghentikan perlawanan karena Jepang mengancam akan
membunuh semua keluarga mereka.
3. Perlawanan
di Kalangan Petani
Pada tahap awal, para petani diminta
menyerahkan padinya hanya kuota tetap per hectare berdasarkan wilayah
administrasi, dengan memperkenalkan kuintal sebagai satuan berat padi pada
tingkat desa. Paksaan untuk menyerahkan sebagian besar padi kepada pemerintah
menimbulkan perlawanan seperti yang terjadi di daerah Indramayu Jawa Barat.
Dalam menghadapi perlawanan itu Jepang menggunakan pemimpin agama seperti Kyai
Abas, yang memiliki pesantren di desa Buntet, Sindang Laut. Paksaan penduduk
untuk menyerahkan padi kepada pemerintah juga terjadi di Unra paksaan ini
mengakibatkan perlawanan petani yang sasarannya terutama tertuju kepada pejabat
desa yang dianggap sebagai kaki tangan Jepang.
Dalam menghadapi perlawanan itu,
Jepang menggunakan pemimpin agama seperti Kyai Abas, yang memiliki pesantren di
desa Buntet, Sindang Laut. Ia diminta berperan sebagai penengah dan utusan
antara pemerintah dan para pelaku perlawanan. Ia datang ke desa Kaplongan dan
dalam suatu pertemuan pimpinan perlawanan ia di tangkap. Akhirnya, perlawanan
dapat ditumpas. Para petani desa itu meneriakinya dengan kata-kata, Kyai Abas
Abis, Kyai Cap Nippon. Ketika ia berpidato propaganda di Karangampel,
petani-petani tidak memedulikannya bahkan mereka melemparinya dengan batu dan
mengejeknya dengan sebutan Kyai Kuintal peristiwa yang sama terjadi ketika Kyai
Abas berpidato di Sindang untuk menganjurkan penyerahan padi. Di desa-desa
Indramayu, para petani diharuskan menyerahkan kuota per hektare yang luar biasa
tingginya, biasanya mencapai dua puluh kuintal padi basah, sedangkan di Cirebon
ken kuotanya dua kuintal dan di Majalengka ken antara empat sampai tujuh
kuintal dengan demikian, penyerahan padi yang wajib dilakukan oleh para petani
Indramayu tiga atau empat kali lebih banyak daripada ken lain.
Pungutan padi semakin menekan para
petani pada musim panen tahun 1944, setelah menyerahkan kuota tetap per
hektare. Semua sisa padi kecuali untuk konsumsi pangan dan persiapan bibit
harus diserahkan kepada pemerintah sistem pungutan padi ini merugikan petani
kaya yang kemudian berpengaruh pada penduduk desa yang menggantungkan hidupnya
pada mereka sebagai pemilik tanah jika pemilik tanah tidak mempunyai modal
untuk penanaman tahun berikutnya, para petani akan menganggur atau berkuranglah
upah mereka. Situasi ini mengakibatkan perlawanan para petani dari pelbagai
lapisan sosial di luar pejabat desa, yang pada umumnya diprakasai oleh para petani
kaya. Seperti Haji Aksan yang memiliki sekitar dua puluh ha sawah di Kaplongan
dan Haji Madrais dan tokoh-tokoh penting dalam perlawanan yang memiliki antara
20 sampai 100 ha sawah di Cidempet, Lohbener paksaan penduduk untuk menyerahkan
padi kepada pemerintah juga terjadi di Unra paksaan ini mengakibatkan
perlawanan petani yang sasarannya terutama tertuju kepada pejabat desa yang
dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Paksaan dilakukan oleh Kepala Desa
Sullewatang, Jaling, yang memerintahkan anak buahnya membongkar loteng-loteng
rumah penduduk untuk mengambil padi mereka di dalamnya tujuh orang penduduk.
Menolak paksaan yang terjadi pada
pertengahan tahun 1994 itu, dan mereka mendapat dukungan dari penduduk lainnya.
Seorang pemuka Unra, Haji Temmale, berhasil mencegah niat Jaling untuk
menangkap mereka dan penduduk dapat ditenangkan selanjutnya Haji Temmale pergi
ke Watampone untuk meminta bantuan anggota Hadat Tujuh menyelesaikan keadaan di
Unra agar terhindar dari ketegangan di kemudian hari. Namun yang terjadi
sebaliknya, karena salah seorang anggota Hadat Tujuh yang menangani urusan
kepolisian, Andi Abdullah Arung Ponceng, kurang memahami apa yang diinginkan
Temmale kedatangannya dengan sejumlah polisi di Unra disambut penduduk yang
hanya bersenjatakan senjata tradisional. Berkat campur tangan Andi Baso Ahmad
yang datang ke Unra bersama Andi Abdullah Arung Ponceng, pertumpahan darah
dapat dicegah dan penduduk bersedia menyerahkan senjatanya senjata-senjata itu
mereka rebut kembali akibat tindakan saling menganiaya seorang penduduk dengan
senjata di tangan, penduduk menyerang Arung Ponceng beserta anggota polisi
Sepasukan tentara Jepang langsung
melancarkan serangan ke Unra dan menuntut agar penduduk Unra menyerah. Atas
permintaan penguasa Jepang, Raja Bone Andi Mappanyukki dapat mencegah penduduk
untuk melakukan perlawanan meskipun ia tidak menyukai pasukan Jepang yang
langsung menyerang rakyat.
Dua hari kemudian pasukan Jepang
tiba lagi Unra untuk menangkapi penduduk dan memasukkan mereka ke penjara di
Watampone para tahanan terutama yang dicurigai terlibat dalam perlawanan dua
hari sebelumnya mendapat siksaan. Haji Temmale bersama-sama keluarga para
tahanan yang 1datang ke penjara akhirnya dipenjarakan pula dalam usianya yang
sudah tua Haji Tammale yang dituduh sebagai otak perlawanan dan sejumlah orang
tahanan lainnya mengalami pelbagai siksaan dalam penjara yang berakhir dengan
kematian.
C.
Perlawanan
Non-Bersenjata Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Revolusi
Indonesia sebagai sejarah yang diingat (remembered history), merupakan massa
pergolakan (bahasa jawa: gegeran) yang ditandai dengan serobotan, gedoran, dan
perdaulatan disamping masa perjuangan (Kaartodirdjo, 1981: 3). Beberapa gerakan
serobotan, gedoran, dan perdaulatan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak
hanya melalui gerakan bersenjata seperti yang dijelaskan pada pernyataan di
atas. Tetapi bangsa Indonesia juga berjuang dengan jalan diplomasi dan
non-agresi.
1.
Janji Perdana Menteri
Koiso
Pada tanggal 7 September 1944 di
dalam sidang istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo, Perdana
Menteri Koiso pengganti Perdana Menteri Tojo mengumumkan tentang Indonesia yang
kelak diperkenankan untuk merdeka dikemudian hari.
Salah satu langkah yang diambilnya
guna mempertahankan pengaruh Jepang ialah dengan cara mengeluarkan pernyataan “Janji
Kemerdekaan Indonesia Dikemudian Hari”. Dengan cara demikian jepang
mengharapkan hal ini akan disambut baik oleh penduduk. Pada tahun 1944 dengan
jatuhnya Saipun dan dipukul mundurnya Angkatan Perang Jepang oleh angkatan
perang sekutu dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall. Seluruh
garis pertahanan di Pasifik mulai bobol yang berarti kekalahan jepang mulai
dapat dipastikan. Kemudian jepang mengalami serangan udara sekutu atas Ambon,
Makassar, Manado, dan Surabaya bahkan tentara sekutu telah mendarat di daerah-daerah
penting penghasil minyak, seperti Tarakan dan Balikpapan.
Menghadapi
situasi yang kritis itu, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan
Letnan Jenderal Kumakici Harada, pada 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan
Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosokai) tindakan ini merupakan langkah konkret
pertama bagi pelaksanaan janji koiso tentang “Kemerdekaan Indonesia di Kelak
Kemudian Hari”. Tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal
penting yag berhubungan dengan pembentukan negara Indonesia yang merdeka.
Susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tata usaha
yang dipimpin oleh dr. Radjman Widyodiningrat.
2.
Perumusan Dasar Negara
Dokoritsu Junbi Cosokai atau yang
disingkat BPUPKI mulai mengadakan persidangan untuk merumuskan undang-undang
dasar dimulai dengan persoalan dasar bagi Indonesia Merdeka. Sidang diadakan
pada 28-31 Mei dan 1 Juni 1945.
1)
Dasar Negara Menurut Muh.
Yamin (29 Mei 1945)
Lima
Asas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia, yaitu Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Peri Ke-Tuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat.
2)
Dasar Negara Menurut Soepomo (31 Mei 1945)
Supomo
memusatkan pembicaraannya kepada dasar negara Indonesia Merdeka, yaitu
persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan
rakyat.
3)
Dasar Negara Menurut Ir.
Soekarno (1 Juni 1945)
Perumusan
lima prinsip dasar negara Indonesia Merdeka dengan usul nama anatara lain
Pancasila. Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan,
Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan
berakhirnya rapat tanggal 1 Juni itu selesailah pula seluruh persidangan
pertama Dokuritsu Junbi Cosokai.
Persidangan itu tidak menghasilkan suatu kesimpulan atau perumusan selama
persidangan berlangsung anggotanya hanya mendengarkan pemandangan umum para
pembicara yang mengetengahkan usul-usul rumusan dasar negara bagi Indonesia
Merdeka.
Setelah persidangan pertama itu selesai,
diadakanlah “reses” selama satu bulan lebih. Sebelum memasuki reses itu, Badan
Penyelidik membentuk suatu Panitia kecil di bawah pimpinan Ir. Soekarno dengan
anggota lainnya Drs, Moh. Hatta, Soetardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasyim, Ki
Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandar Dinata, Muh.Yamin, Kahar Muzakar dan A.A.
Maramis kesemuanya berjumlah sembilan orang dan mereka bertugas menampung
saran-saran, usul-usul, dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh Ketua
persidangan kedua Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945, panitia kecil itu
diminta laporan Ketua Radjiman yang telah pula dipenuhi oleh ketuanya Ir.
Soekarno.
Ir.
Soekarno melaporkan bahwa Panitia Kecil aatau Panitia Sembilan pada tanggal 22
Juni mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan dengan 38 anggota Dokuritsu Junbi Cosakai atau badan
penyelidik yang sebagian diantaranya sedang menghadiri sidang Chuo Sang In pertemuan itu oleh Ir.
Soekarno ditegaskan merupakan rapat pertemuan antara Panitia Kecil dengan
anggota-anggota Dokuritsu Junbi Cosakai
hasil pertemuan itu adalah telah ditampungnya suara-suara dan usul-usul lisan
dari pihak anggota Badan Penyelidik perumusan terakhir draft dasar negara
dilakukan pada persidangan kedua mulai tanggal 10 Juli 1945. pada kesempatan
itu di bahas tentang pembentukan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
peembentukan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, pembelaan tanah air, serta
keuangan dan perekonomian.
Dalam rapatnya pada tanggal 11 Juli,
Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi
preambul yang diambil dari Piagam Jakarta. Panitia tersebut kemudian membentuk
sebuah Panitia kecil Perancang Undang-Undang Dasar dengan suara bulat
menyetujui isi preambul yang diambil dari Piagam Jakarta. Panitia tersebut
kemudian membentuk sebuah Panitia kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang
diketahui oleh Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggota-anggota lain Mr.
Wongsonegoro, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus
Salim, dan Dr. Sukiman.
Pada rapat tanggal 13 Juli 1945,
diputuskan, hasil perumusan Panitia kecil disempurnakan bahasanya oleh sebuah
Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Hoesein Djajaningrat, Agus Salim,
dan Supomo Panitia itu bertugas pula menyempurnakan dan menyusun kembali
rancangan undang-undang dasar yang sudah dibahas itu. Persidangan kedua Dokuritsu Junbi Cosokai dilanjutkan pada
tanggal 14 Juli 1945 untuk menerima laporan Panitia Perancang Undang-Undang 14
Juli 1945 untuk menerima laporan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Ir.
Soekarno selaku Ketua Panitia melaporkan tiga hasil panitia. Peryantaan
Indonesia Merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasarnya
sendiri (Batang Tubuhnya).
3. Aktivitas
di Kalangan Pemuda
Pada masa pendudukan jepang, asrama
merupakan konsentrasi para pemuda dan mereka memperoleh inspirasi dari
tokoh-tokoh nasional dalam mencapai kemerdekaan Indonesia salah satu di
antaranya. Asrama Angkatan Baru di Menteng 31, Jakarta yang didirikan oleh
Hitoshi Shimizu dari Sendenbu yakni, Chairul Saleh dan Sukarni, di asrama ini
para pemuda mendapat pendidikan Nippon Seishin semangat Nippon mereka juga
mendapat pendidikan tentang nasionalisme dari generasi yang lebih tua seperti
Soekarno, Hatta, Yamin, dan Mr. Soenario meskipun pendidikan yang diikuti oleh
50-60 orang berakhir pada bulan April 1943 asrama ini tetap menjadi tempat
pertemuan mereka untuk membahas hal-hal yang sedang berlangsung saat itu,
antara lain masalah politik dan sebagainya.
Konsentrasi lainnya adalah Asrama Perguruan
Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku), di
Jalan Prapatan 10, Jakarta, tempat menampung bekas Mahasiswa Geneeskundige Hoge School (GHS) dan Nederlands Indische Artsen School
(NIAS). Karena yakin kekuasaan Jepang akan berakhir, kalangan mahasiswa ini
mulai mempersiapkan kekuatan untuk mencapai Indonesia Merdeka mereka melakukan
pembangkangan terhadap peraturan buatan termasuk mahasiswa, menyadari bahwa
kepala melambangkan harga diri. Mereka akan cepat tersinggung jika ada
seseorang yang berani berbuat tidak senonoh, baik dengan kata-kata maupun
perbuatan terhadap kepalanya.
Pembangkangan ini diikuti oleh aksi
mogok kuliah pada bulan Oktober 1943 mereka pun menolak pelatihan militer di
waktu hujan pada bulan Desember 1943, pada bulan Mei 1945 mereka memboikot
rapat raksasa pemuda yang diadakan oleh Jepang akibatnya beberapa mahasiswa
seperti Soedjatmoko, Soedarpo, dan Soeroto Koento dilarang mengikuti kuliah.
4. Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Golongan Pemuda
Memuncaknya perjuangan menuju
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tampaknya disebabkan oleh golongan muda baik
golongan tua maupun golongan muda sama-sama berpendapat bahwa kemerdekaan
Indonesia harus segera diproklamasikan, hanya mengenai cara melaksanakan
Proklamasi itu terdapat beda pendapat. Para anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI)., seperti syarat pertama untuk mencapai
kemerdekaan ialah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh
bangsa Indonesia karena itu bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga
sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan
perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya, Negara
Indonesia itu merupakan anggota lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur
Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita
pemerintah Jepang yang bersemangat
Hakko-Ichiu. Dengan diumumkannya pembentukan PPKI tanggal 7 Agustus 1945,
pada saat yang sama Dokuritsu Junbi
Cosokai dianggap bubar kepada para anggota PPKI.
Gunseikan
Mayor Jenderal Yamamoto mengucapkan terimakasih dan menegaskan bahwa para
anggota yang duduk di PPKI itu tidak dipilih oleh pejabat di lingkungan tentara
ke-16 saja, tetapi oleh Jenderal Besar Terauchi sendiri yang menjadi penguasa
perang tertinggi seluruh Asia Tenggara. Untuk pengangkatan Jenderal Besar
Terauchi memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional, terdiri dari Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wedioningrat pada tanggal.
5. Peristiwa
Rengasdengklok
Rengasdengklok dipilih untuk
mengamankan Soekarno-Hattta berdasarkan perhitungan militer antara anggota PETA
Daidan Purwarkarta dan Daidan Jakarta yang memiliki hubungan erat sejak mereka
mengadakan pelatihan bersama-sama. Selain itu Rengasdengklok letaknya terpencil
yakni 15 km dari Kedunggede, Karawang pada jalan raya Jakarta-Cirebon. Sehari
penuh Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Para pemuda bermaksud untuk
menekan mereka berdua unttuk segera memproklaamasikan kemerdekaan Indonesia yang
terlepas dari pengaruh Jepang.
Ir.
Soekarno bersedia untuk mengadakan Proklamasi itu secepatnya setelah kembali ke
Jakarta. Berdasarkan anggapan itu Singgih pada tengah hari kembali ke Jakarta
untuk menyampaikannya rencana Proklamasi itu kepada kawan-kawannya (golongan pemuda).
Sementara itu di Jakarta antara Mr. Ahmad Subardjo dari golongan tua dan Wikana
dari golongan muda tercapai kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus
dilakukan di Jakarta di dapat pula penegasan bahwa Laksamana Tadashi Maeda
bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya.
Berdasarkan kesepakatan itu Jusuf Kunto dari pihak pemuda pada hari itu juga
mengantarkan Mr. Ahmad Subardjo bersama sekretaris pribadinya Sudiro ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan tiba pada jam
16.30. Saat di Rengasdengklok oleh Ahmad Subardjo diberi jaminan dengan taruhan
nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya
jam 12.00 dengan jaminan tersebut komandan kompi PETA setempat Chudancho Subeno bersedia melepaskan
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
6. Perumusan
Teks Proklamasi
Pada pertemuan sebelumnya, dicapai
kata sepakat antara Soekarno-Hatta dan Nishimura untuk melangsungkan rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 194. Namun,
hal ini gagal diadakan karena mereka di bawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok
mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauchi telah
menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI.
Namun dengan menyerahnya Jepang
kepada sekutu, berlakulah ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan
lagi mengubah status quo dan harus mempertahankannya. Karena hal ini Nishimura
melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan. Setelah hampir dua jam lamanya mereka mengadakan
pertemuan dengan Nishimura dan tidak mencapai kata sepakat. Kemudian Soekarno-Hatta
dengan didampingi Miyoshi pergi kerumah Maeda.
Di rumah Maeda kedua pemimpin itu
bertemu dengan Subardjo demikian pula Maeda yang pulang ke rumahnya lebih
dahulu secara diam-diam dari rumah Nishimura. Rumah laksamana Jepang itu di
anggap tempat yang paling aman dari tindakan Pemerintah Jepang. Kemudian
disepakatilah oleh golongan tua dan muda untuk menyusun teks proklamasi.
Merkur 34C Review - Carve Gaming
BalasHapusMerkur 34C is the top safety razor to choose from. This razor 메리트 카지노 주소 is one of Merkur's great travel razors with a modern design, comfortable construction, and features
Wynn casino - MapyRO
BalasHapusThe 논산 출장안마 property 보령 출장마사지 was opened in 2008, and it's part 인천광역 출장샵 of Wynn Resorts. Wynn Las Vegas has a casino onsite. 원주 출장마사지 The casino was built on 400 acres on the Las Vegas 서울특별 출장마사지 Rating: 4 · 1,811 votes