Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
A.
Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia
1.
Kerajaan Islam di Sumatra
a.
Kerajaan Samudra Pasai
Letak kerajaan
Samudra Pasai lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nangri Aceh,
diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275 M atau pertengahan abad ke-13 M.
Kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan sultan pertamanya yang bernama
Sultan Malik as-Shalih, wafat tahun 696 H (1297 M). Nama Sultan Malik as-Shalih
sebagai sultan pertama kerajaan tersebut diceritakan pula dalam Sejarah Melayu
dan Hikayat Raja-Raja Pasai, yang sebelumnya hanya seorang Kepala Gampong
Samudra, bernama Marah Silu (Tjandrasasmita & Manus, 2010:22). Beberapa sumber
sejarah yang menyebut tentang keberadaan kerajaan ini diantaranya adalah berita
Marco Polo (1292) bahwa ia mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak telah
beragama Islam. Keberadaan
Kerajaan Samudera Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l- Masyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir
Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Beberapa sejarahwan juga
memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja
Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin
berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Peta Kerajaan
Samudra Pasai
Dari segi politik,
munculnya kerajaan Samudra Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya
peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di
kawasan Sumatera dan sekelilingnya (Tjandrasasmita dalam Yatim, 2013:206).
Sultan-sultan yang memerintah kerajaan Samudra Pasai berturut-turut adalah
Sultan Malik as-Shalih (wafat 696 H/1297 M), Sultan Muhammad Malik az-Zahir
(1297-1326), Sultan Mahmud Malik az-Zahir (lk. 1346-1383), Sultan Zain
al-‘Abidin Malik az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), Abu Zaid
Malik az-Zahir (1412-?), dan Mahmud Malik az-Zahir (1513-1524) (Tjandrasasmita
& Manus, 2010:23).
Kerajaan Samudra
Pasai mempunyai peran penting dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara.
Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena erat hubungannya dengan
kerajaan Samudra Pasai lebih-lebih dengan mengadakan hubungan pernikahan antara
putra-putra Sultan dari Pasai dengan Malaka sehingga pada awal abad ke-15 atau
sekitar 1414 M tumbuhlah kerajaan Islam Malaka, dimulai pemerintahan Paramisora
(Tjandrasasmita & Manus, 2010:26). Kemakmuran Samudera-Pasai terjaga hingga sultan yang
terakhir Sultan Zain al-‘Abidin (1513-1524). Mengenai hal ini, Tomé Pires,
seorang pengelana Portugis, menyatakan saat perjalanannya di Nusantara pada
awal abad ke-16 bahwa kesultanan Samudera-Pasai adalah kerajaan yang kaya dan
sejahtera. Terdapat 20.000 penduduk di Pasai. Hasil bumi yang paling penting
dari Samudera-Pasai adalah lada, sutera dan kapur barus (Yakin, 2015:277).
b.
Kerajaan Aceh Darussalam
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam
terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada
tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis. Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan
kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan
Pedie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali
Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pedie dan
menjadi kerajaan yang berdaulat penuh, dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah
yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut:
Pasai, Daya termasuk pula Pedie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pedie, maka Sultan Ali
Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sultan Ibrahim menjadi penguasa
pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam
(Harun, 1995:11).
Lokasi Kerajaan Aceh yang sangat strategis
yaitu di daerah Jalur Sutera atau daerah jalur perdagangan utama, membuat
kerajaan ini berpusat pada sektor perdagangan. Sehingga banyak titik pelabuhan
di daerah kekuasaan Kerajaan Aceh yaitu sepanjang pantai Barat Sumatera.
Perekonomian Kerajaan Aceh sangat bertumpu pada sektor perdagangan sehingga,
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607—1636) banyak mengeluarkan kebijakan yang
berhubungan dengan masalah perdagangan. Bisa dikatakan bahwa letak georgafis
Kerajaan Aceh adalah faktor utama penyebab Kerajaan Aceh menjadi kerajaan
dengan perdagangan sebagai sektor perekonomian utamannya.
Peta
Kerajaan Aceh Darussalam
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam
terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya
Aceh menguasai seluruh seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatra.
Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya
orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang
datang, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan
Iskandar Muda tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Utsmani yang
jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, sultan kemudian bekerjasama dengan
musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris (Yatim, 2013:210).
Kekayaan alam dari kerajaan Aceh pada masa
Sultan Iskandar Muda (1607—1636), sangatlah melimpah, terutama pada hasil
hutan, hasil tambang, lada, dan sutera. Informasi itu bisa diketahui dari
catatan orang Perancis yaitu Augustin de Beaulie yang pernah pergi ke Aceh.
Hasil hutan yang dihasilkan oleh kerajaan Aceh menurut Hikayat Aceh dalam Lombard (1986: 83) ialah guliga dan kasturi,
madu dan malam, kapur barus, kemenyan, kayu celembak, kayu gaharu, kayu
cendana, damar, cabai, dan temukus. Menurut Sufi (1995: 49), kota pelabuhan
Singkel menghasilkan banyak kapur barus dan kemenyan yang banyak menghasilkan
uang bagi penduduknya. Dari sana, bisa diketahui bahwa hasil hutan di Singkel
digunakan penduduknya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Untuk hasil tambang Kerajaan Aceh, yang
menjadi hasil tambang utama adalah minyak tanah, belerang, dan emas. Daerah
penghasil minyak tanah adalah daerah Deli yang juga merupakan daerah pelabuhan
di Semanjang pantai barat kerajaan Aceh. Dari catatan de Beaulie dalam Lombard
(1986: 85), belerang dihasilkan dari gunung yang letaknya enam jam dari Aceh,
arah ke Pedir selain itu daerah Pulo-vay juga menghasilkan belerang. Dalam Hikayat Aceh, disebutkan bahwa Aceh
adalah penghasil emas. Untuk daerah penghasil emas adalah Padang.
Di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera,
terdapat daerah-daerah penghasil lada yang sangat melimpah seperti daerah Tiku,
Pasaman, Padang, dan lainnya. Sufi (1995: 53), khusus di pelabuhan-pelabuhan
pantai Barat Sumatera yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh, Sultan
Iskandar Muda menggunakan kekuasaannya untuk membeli sejumlah lada dengan harga
murah untuk bisa diperdagangkan lagi ke pedagang-pedagang asing.
Untuk
sutera, dihasilkan oleh daerah Pedir karena di sana banyak menghasilkan ulat
sutera. Dari catatan de Beaulie dalam Lombard (1986: 87), disebutkan bahwa
sutera dihasilkan dalam jumlah yang lumayan banyak di daerah sekitar Aceh.
Sutera yang dihasilkan tidak sebagus sutera Tiongkok, meskipun begitu dapat
dihasilkan kain taf yang lumayan bagus dari sutera Aceh.
Hasil-hasil
alam yang telah disebutkan di atas, merupakan komoditi utama kerajaan Aceh
beserta rakyatnya. Hasil-hasil alam tersebut diperdagangkan dan diekspor untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya seperti membeli bahan pangan seperti beras.
Daerah-daerah kerajaan Aceh juga menghasilkan beras seperti Pedir, Daya dan
lainnya, tetapi produksi beras di daerah tersebut tidaklah bisa mencukupi
kebutuhan rakyat Aceh yang banyak. Selain itu, petani padi bukanlah suatu
pekerjaan yang “presticious” bagi
rakyat Aceh. Itu terjadi karena Aceh yang terletak di Jalur Sutera yaitu jalur
perdagangan utama, sehingga rakyat Aceh lebih senang berdagang daripada harus
bersusah payah menanam tanaman padi. Tidak mengherankan bahwa pada masa Sultan
Iskandar Muda, rakyat lebih suka membeli beras, sehingga Aceh menjadi pengimpor
beras. Harga beraspun pada masa itu juga mahal.
Sultan Iskandar Muda yang membawa Aceh pada masa kejayaan
Pada
awal abad ke-19 kerajaan Aceh Darussalam terus-menerus mengalami ancaman
kolonialisasi Belanda yang terus-menerus meluaskan kekuasaan politiknya, tetapi
di berbagai daerah di Nusantara tetap mengalami perlawanan. Di kerajaan Aceh
Darussalam sejak tahun 1873-1904 terjadi peperangan yang hebat yang terkenal
dengan Perang Aceh dan merupakan peperangan yang hebat yang terkenal dengan
Perang Aceh dan merupakan peperangan terlama, terkuat dan terbesar, karena
didorong pula dengan dengan motivasi keagamaan melawan kafir yang terkenal
dengan Perang Sabil.
Menurut
Anthony Reid (2012:11), menyatakan bahwa pada tahun 1913, setelah 40 tahun
berperang akhirnya Belanda dapat menaklukan Aceh. Kebijakan pengejaran
terus-menerus, kontrol atas senjata untuk mencegak perlawanan rakyat Aceh.
2.
Kerajaan Islam di Jawa
a.
Kerajaan Demak
Kerajaan
Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal abad XVI
adalah Demak. Pada masa itu, Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik,
walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak di pantai pada abad-abad berikutnya
telah menjadikan Demak sekarang terletak beberapa kilometer dari laut
(Ricklefs, 2001:90). Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah yang masih
keturunan dari penguasa Majapahit, yakni putra dari Kertabhumi (Brawijaya V).
Raden Patah diangkat menjadi raja oleh Wali Songo, sehingga kerajaan Demak
tumbuh dan berkembang menjadi pusat kerajaan Islam pada akhir abad ke-15.
Tjandrasasmita
& Manus (2010:52), berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515) Demak
diberitakan merupakan kota besar dengan jumlah kurang lebih 8.000 atau 14.000.
Penguasa Demak dikatakan Pate Rodim dan kakeknya berasal dari Gresik. Yang
menarik perhatian kita Tome Pires juga memberitakan bahwa di daerah pedalaman
masih ada kerajaan yang bercorak Hindu dengan rajanya Batara Vigiaya dan
patihnya yang lebih berkuasa ialah Gusti Pate. Yang dimaksud Tome Pires dengan
Batara Vigiaya jelas Brawijaya seperti terdapat pada babad-babad Brawijaya
lebih kurang setengah abad sudah meninggalkan pusat kerajaan Majapahit dan
pindah ke Daha atau Kadiri yang akhirnya jatuh pada tahun 1526 kepada kerajaan
Demak.
Peta
Kerajaan Demak
Pemerintahan
Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim
keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sabrang Lor, dikenal juga dengan
nama Pati unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika
menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya, tidak lama setelah naik
tahta, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya
semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi,
sekitar pergantian tahun 1512-151, tentaranya mengalami kekalahan besar. Pati
Unus digantikan oleh Trenggana yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung
Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun
1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan ke
seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan (Yatim, 2013:211).
Sultan
Trenggana meluaskan kekuasaanya ke Jawa bagian barat terutama mengirimkan
pasukannya yang dipimpin oleh Fadhillah Khan yang berasal dari Pasai untuk
menyerang Kalapa tahun 1527. Sebelum ke Kalapa ia dengan pasukannya singgah di
Cirebon dan juga dengan dorongan Sunan Gunung Jati sebagai mertunya berangkat
ke Kalapa dibarengi pasukan gabungan dari Cirebon. Dari arah barat pelabuhan
Kalapa diserang sehingga armada Portugis di bawah Fransisco de Sa dipukul
mundur dan Kalapa akhirnya dapat direbut dan kemudian Fadhillah Khan mengganti
nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. Ke Jawa bagian Timur Trenggana juga
meluaskan politiknya terutama menundukkan daerah-daerah yang masih beragama
Hindu yaitu kecuali Kadiri tahun 1527, juga Tuban, Wirasari tahun 1528,
Galegang (Madiun) tahun 1529, Lendangkungan tahun 1530, Surabaya tahun 1531,
Pasuruan tahun 1535, Panurukan, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba antara tanhun
1541 dan 1542, Gunung Pananggungan tahun 1543, Mamengan Thanu tahun 1544,
Sengguruh tahun 1545, Balambangan menurut Babad
Sangkala diserang tahun 1546, tetapi Sultan Trenggana gugur sehingga
kerajaann Balambangan belum Islam (Tjandrasasmita & Manus, 2010:54).
Sultan
Trenggana digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung
lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar Demak. Sunan
Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Panangsang dari Jipang pada tahun
1549. Dengan demikian, kerajaan Demak berakhir dan dilanutkan oleh kerajaan
Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Panangsang (Yatim,
2013:212).
b.
Kerajaan Pajang
Jaka
Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang tamtama di
kerajaan Demak di bawah pemerintahan Pangeran Trenggana, karena keahliannya ia
dijadikan menantu oleh Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Aria Panangsang,
ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Sultan
Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa daerah sekitarnya
antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui kekuasaan kerajaan Pajang.
Demikian pula ia meluaskan pengaruhnya ke daerah pesisir utara, seperti Japara,
Pati, bahkan ke arah barat sampai Banyumas. Setelah wafat tahun 1587 ia
digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan
Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas
jasanya dalam pembunuhan Sunan Prawata. Peralihan pusat kekuasaan dari Demak
kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran pusat pemerintahan
dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sehingga terjadi perubahan sifat kerajaan
maritim ke kerajaan agraris (Tjandrasasmita & Manus, 2010:55).
c.
Kerajaan Mataram
Mataram
adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa modern yang paling kuat dan yang
paling lama. Babad-babad Jawa menyebutkan bahwa seseorang yang bernama Kyai
Gedhe Pamanahan telah berhasil menunaikan suatu tugas besar untuk Jaka Tingkir
dari Pajang dengan membunuh lawan utamanya, Arya Penangsang dari Jipang, yang
mungkin berlangsung pada tahun 1540-an atau 1550-an. Sebagai hadiahnya,
Pamahanan dijanjikan akan diberi bumi Mataram, tetapi Jaka Tingkir lupa akan
janjinya ini sampai Sunan Kalijaga ikut campur tangan dan mendesak supaya Jaka
Tingkir memenuhi janjinya. Mungkin Pamanahan menepati daerah Mataram pada tahun
1570-an dan sesudah itu dia disebut Kyai Gedhe (atau Ki Ageng) Mataram di dalam
cerita-cerita dongeng. Diperkirakan dia meninggal sekitar tahun 1584 (Ricklefs,
2001:97).
Peta
wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang dan Mataram
Setelah
wafat ia digantikan putranya, ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar
oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur
dengan Panembahan Senopati. Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh
senagai kerajaan bawahan Pajang, ia dengan sengaja mengbaikan kewajibannya
sebagai raja bawahan dengan tidak seba
atau sowan tahunan terhadap raja
Pajang. Konsekuensinya akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan
pembangkangan Mataram dengan jalan kekeasan dan kekuatan senjata. Ekpedisinya
penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena
bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya
prajurit Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal
itu, Sultan Pajang meninggal dunia, momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan
Senopati untuk meproklamasikan dirinya sebagai penguasa seluruh Jawa (Harun,
1995:24).
Panembahan
Senopati wafat pada tahun 1601 M. Masa Kejayaan kerajaan Mataram saat
diperintah oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati. Setelah
Panembahan Senopati wafat diganti oleh Raden Jolang dari tahun 1601 sampai
tahun 1613, menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede
termasuk pembuatan Taman Danalaya, kolam (segaran), dan kompleks pemakaman Kota
Gede. Karena ia meninggal di tempat perburuan (krapyak) tahun 1613. Ia terkenal
pula dengan gelaran Panembahan Seda ing Krapyak. Penggantinya adalah cucu
Panembahan Senopati yaitu Sultan Agung Senapati ing Alaga (Tjandrasasmita &
Manus, 2010:56-57).
Mataram mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma
Sultan
Agung memiliki nama kecil Den Mas Rangsang yang naik tahta pada tahun 1613
hingga wafatnya tahun 1646. Beberapa lama setelah naik tahta, ia segera
mengirimkan ekspedisi penaklukan ke kerajaan di wilayah Jawa Timur. Usaha itu
selalu berhasil, dengan tanpa mengalami kesulitan maka pada tahun 1615 Wirasaha
dapat dikuasai menyusul Lasem (1616), Pasuruan (1617), Tuban (1619) dan Madura
pada tahun 1624. Surabaya yang merupakan saingan berat Mataram, setelah diserbu
beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut Giri (1636) dan Blambangan di tahun
1639. Dengan dikuasainya kerajaan-kerajaan di wilayah Jawa Timur ini maka
sempurnalah kedudukan Mataram sebagai penguasa Jawa (Kartodirdjo dalam Harun,
1995:25-26).
Di
masa pemerintahan Sultan Agung, terjadi kontak-kontak bersenjata dengan VOC, di
mana pada tahun 1628-1629, Sultan Agung berusaha menyerang Batavia namun usaha
itu akhirnya berkahir dengan kekalahan yang besar. Pada tahun 1630 M, Sultan
Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera mahkota. Sultan Agung wafat tahun
1646 M dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putera mahkota. Masa
pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah reda dengan konflik. dalam setiap
konflik, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama
yang bertolak dari keprihatinan agama. Tindakan pertama dengan membunuh banyak
ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya.
Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M) (Yatim, 2013:215).
Amangkurat
I meninggal tahun 1677 karena pemberontakan Trunajaya. Ia digantikan oleh
Amangkurat II. Sejak pemerintahan baik Amangkurat I maupun Amangkurat II dan
seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti tahun 1755
terus-menerus mengalami pengaruh politik VOC. Bahkan melalui perjanjian Giyanti
itulah kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo) (Tjandrasasmita & Manus,
2010:59).
d.
Kerajaan
Banten
Berdasarkan
sumber-sumber lokal, antara lain Babad
atau sejarah banten, Hikayat Hasanuddin, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, Babad
Tjerbon dan ditambah sumber asing antara lain Portugis dan Cina, bahwa
daerah Banten sebelum kesultanan 1525-1526, masih berada dibawah Kerajaan Sunda
Padjajaran (Tjandrasasmita & Manus, 2010:65). Kesultanan
Banten dirintis oleh tiga unsur kekuatan yaitu, kekuatan dari Cirebon, Demak,
Banten. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian
pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer dan
akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan
yang berdiri sendiri dan diberi nama Kesultanan Banten (Djajadiningrat,
1983:214).
Peta wilayah Kesultanan Banten
Banten sebelum Islam
berkuasa merupakan bagian Kerajaan Pasundan, hal ini dijelaskan oleh Boedhihartono
(2009:141) sebagai berikut:
Sebelum
Islam berkuasa, Banten merupakan bagian dari Kerajaan Pasundan atau Kerajaan
Sunda dan dikenal sebagai Banten Girang atau Wahanten Girang, suatu kerajaan
bawahan yang bertahan dari abad ke-10 hingga ke-16. Islam di Banten masuk
sekitar 1524—1525 dan pengambil alih kekuasaan pertama adalah Sunan Gunung Jati
atau Syeikh Syarif Hidayatullah, tetapi sebagai raja pertama adalah Maulana
Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan putri Raden Trenggono dari Demak pada
tahun 1526 dan diangkat sebagai Sultan tahun 1552. Sejak Malaka diduduki
Portugis, Banten menjadi pelabuhan yang ramai. Pedagang dari berbagai bangsa
mulai berdatangan ke Banten untuk memperoleh rempah-rempah baik dari Banten
sendiri maupun dari Indonesia bagian timur. Awalnya Banten disinggahi pedagang
Arab atau India, tetapi kemudian berdatangan pedagang dari Eropa seperti dari
Portugis, Inggris, Belanda, Prancis, dan Denmark.
Sultan Maulana Hasanuddin, memiliki
hubungan yang erat dengan kerajaan Demak. Pada sekitar abad ke-16 ternyata
mengalami kemajuan pesat dan mencoba memperluas pengaruh ke daerah Jawa Barat.
Namun, setelah masa kejayaan itu Demak mengalami masa suram sehingga Sultan
Maulana Hasanuddin melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Demak. Akhirnya pada
tahun 1552 Hasanuddin menjadi pemimpin Banten yang pertama dengan gelar
Panembahan Surasowan. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin
mengalami kemajuan pesat dibeberapa bidang, menurut Kosoh
(1979:83—84) sebagai berikut:
Banten pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin mengalami kemajuan pesat, sebagai pelabuhan yang
banyak dikunjungi pedagang-pedagang asing seperti orang-orang Portugis, Cina.
Sebagai pusat penyebaran agama Islam, Banten berusaha mengislamkan seluruh
wilayah Pajajaran. Bahkan penyebaran agama Islam itu meluas sampai Lampung,
Bengkulu, dan daerah lain sekitar Tulangbawang. Dengan wafatnya Hasanuddin pada
tahun 1570, pemerintahan Banten jatuh ke tangan putranya tertua yaitu, Maulana
Yusuf.
Sultan Abdul Fattah atau lebih dikenal
dengan Sultan Ageng Tirtayasa, pada masa pemerintahannya Banten mengalami
puncak kejayaan dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya. Pengaruh dari
penjajah yang sudah muncul pada masa pemerintahan sebelumnya tidak dibiarkan
begitu saja, melainkan melakukan berbagai perlawanan. Sultan Ageng Tirtayasa
adalah seorang pemimpin yang sangat teguh pendirian dan pantang mundur untuk
melawan penjajah. Pendapat tersebut juga diperkuat
dengan pendapat Tjandrasasmita dalam Kumpulan Makalah Diskusi (1995:36—38)
sebagai berikut:
Banten mencapai puncak kejayaannya. Di bidang politik, Sultan
Ageng Tirtayasa senantiasa dengan gigih menentang usaha-usaha memonopoli
perdagangan dengan luar terutama rempah-rempah dari Maluku yang pada tujuan
akhirnya penguasaan politik. Sultan juga mengadakan upaya-upaya pembangunan,
perairan dan pertanian dalam rangka meningkatkan ketahanan Banten. Sejak itulah
Sultan mengadakan pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan
irigasi tetapi juga untuk memudahkan transportasi dalam gerak peperangan. Dalam
upaya untuk meningkatkan kekuatan, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan
usaha-usaha meningkatkan pertanian dan konsolidasi kekuatan dengan mengadakan
hubungan-hubungannya dengan Lampung, Salebar, Bengkulu, Cirebon, dan lainnya.
Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Goa, dengan sumber
rempah-rempah di Maluku. Banten dalam usaha perdagangan dengan bangsa-bangsa
lain terutama tentang komoditi rempah-rempah tidak hanya dihimpun dari daerahnya
serta daerah-daerah pengaruhnya di Lampung dan lainnya, tetapi juga dari pusat
rempah-rempah di Asia Tenggara yaitu Maluku. Usaha Sultan Ageng ke luar baik
dalam bidang politik, diplomatik maupun dibidang pelayaran dan perdagangan
dengan bangsa-bangsa lain ditingkatkan pula. Pelabuhan Banten makin ramai
dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang,
Pilipina, Malayu, Pegu dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa Eropa
yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark.
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengambil
inisiatif untuk melancarkan politik perniagaan bebas dan mengusir orang Belanda
dari Batavia. Perkembangan eknomi Banten pada saat pemerintahannya jauh lebih
baik daripada pemerintahan sebelumnya dan akhirnya menjadi saingan sekaligus
ancaman besar bagi Batavia sedangakan orang-orang Eropa memiliki kantor dagang
di Banten, sehingga mereka kawatir tersaingi oleh Banten.
Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Peperangan yang pernah dilakukan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa adalah peperangan tahun 1658–1659 di daerah
Angke-Tangerang yang diakhiri dengan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang
terdiri dari 12 pasal (Tjandrasasmita & Manus, 2010:68). Peperangan yang
terjadi pada masa pemerintahannya untuk melawan VOC terus terjadi dari tahun ke
tahun, sampai akhirnya pada tanggal 10 November 1681 dikirimkan Tumenggung Naya
Wipraya dan Jaya Sedana sebagai utusan diplomatik dikirim ke Inggris yang
bertujuan untuk menjalin hubungan baik negara asing dengan wilayah Indonesia.
Perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa awalnya memberikan pencerahan, namun bibit-bibit kemunduran
kerajaan Banten justru muncul pada saat pemerintahannya, dengan adanya perang
kelompok yang dipimpin putranya sendiri yaitu Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau
Sultan Haji yang dibantu oleh VOC telah mempengaruhi kekuatan Banten secara
sedikit demi sedikit. Sebagai seorang ayah tentunya Sultan Ageng Tirtayasa juga
memiliki perasaan yang serba salah, karena pada satu sisi ia harus melawan
anaknya sendiri. Jatuhnya surasowan
dan kemudian ditnangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa membuat bibit-bibit
kemunduran itu menjadi jelas, ditambah lagi dengan adanya perjanjian yang
dilakukan oleh Sultan Haji dengan pihak VOC membuat Banten dalam kondisi
terpuruk dan berakhirlah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.
Menurut Ekadjati (1997:22—23)
kemunduran Banten dapat diketahui dari kedatangan VOC untuk pertama kali di
Banten, adapun pendapatnya adalah:
Sesungguhnya sejak kedatangannya yang pertama di Banten (1596),
hubungan antara Banten dengan orang Belanda diwarnai gejala kurang baik. Tetapi
hubungan mereka yang tidak baik diawali oleh kehendak orang Belanda yang
diwakili oleh kongsi dagang mereka (VOC) yang selalu mendesak Banten agar
memberi hak monopoli atas perdagangan mereka di Banten. Namun hal tersebut
ditolak oleh Banten karena bertentangan dengan kebijakan Banten yang menerapkan
perdagangan bebas dan juga akan merugikan perdagangan dan usaha pelayaran
Banten. Terjadi konflik besar antara keduanya, setelah VOC memperoleh tempat
kedudukan di Batavia (1619). Puncak konflik terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa yang mengakibatkan terjadinya peperangan puluhan tahun
lamanya. Perang tersebut baru berhenti setelah Sultan Ageng Tirtayasa
tertangkap, akibat penghianatan puteranya sendiri. Pada awal abad ke-19 pun
terjadi lagi konflik senjata antara pasukan Banten dengan serdadu kolonial
Belanda yang disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang pemerintahan Kolonial
yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal H.W. Deandels. Konflik ini
berakhir dengan ditangkap dan dibuangnya Sultan Banten ke Surabaya. Bahkan
akhirnya, Kesultana Banten dihapuskan sama sekali dan wilayahnya digabungkan
dengan wilayah Hindia Belanda. Berakhirlah keberadaan Kesultanan Banten pada
perempatan pertama abad ke-19 M.
3.
Kerajaan Islam di Sulawesi
a.
Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan
Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan
Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang
merupakan daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai
pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang
telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah,
Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah,
raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam,
tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo,
agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Alauddin (1591-1636) adalah sultan pertama
yang menganut agama Islam tahun 1605 (Yatim, 2013:223).
Wilayah
kekuasaan Kesultanan Gowa-Tallo di Sulawesi
Raja
yang paling terkenal dari Gowa adalah Sultan Hasanuddin. Dalam sejarah kerajaan
Gowa, Sultan Hasanuddin berusaha mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya
penjajahan politik dan ekonomi VOC. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap
kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan,
tetapi setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC di dekat perairan Malaka,
ternyata ada orang Makassar dan dari orang inilah ia mendapat berita mengenai
pentingnya pelabuhan Sombuopu sebagai pelabuhan transito terutama mendatangkan
rempah-rempah dari Maluku. Pada waktu kapal VOC berada di Perairan Banda
dicobanya mengirimkan surat kepada raja Gowa untuk bersahabat hanya untuk
perdagangan. Raja Gowa mengundang orang VOC ke Sumbaopu, ternyata VOC mulai
menunjukkan tanda-tanda perilaku memaksakan kehendaknya terutama mengenai
perdagangan rempah-rempah dari daerah Maluku. Pada tahun 1616 ketika sebuah
kapal Belanda turun di Sumbawa orang-orangnya dibunuh, dan inilah yang membuat
Y.P. Coen di Batavia marah. Pihak kerajaan Giwa menganggap VOC sebagai “perdagangan penyelundupan”. Sejak itulah permusuhan antara kerajaan Gowa
dan VOC tidak ada hentinya. Pada tahun 1634 VOC memblokade kerajaan Gowa tetapi
tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan
baru berdamai antara tahun 1637-1638 (Tjandrasasmita & Manus, 2010:80).
Sultan Hasanuddin yang memiliki juluan Ayam Jantan dari Timur
Namun
perjanjian damai tersebut tidak bertahan lama, perang antara Gowa dan VOC tidak
bisa dihindarkan. Akhirnya VOC bersekutu dengan Arung Palaka, penguasa Bone
yang ingin lepas dari Gowa. Akhirnya persekutuan itu dapat menundukkan Sultan
Hasanuddin dengan adanya perjanjian Bungaya/ Bongaya pada tahun 18 November
1667. Isi dari perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut:
- -VOC memperoleh hak untuk
memonopoli perdagangan di Makassar,
- -Belanda mendirikan
benteng di Makassar dengan nama Benteng Rotterdam,
- -Makassar melepaskan
daerah-daerah kekuasaanya seperti Bone dan pulau-pulau lain di sekitar
Makassar,
- -Mengakui Aru Palaka
sebagai raja Bone.
4.
Kerajaan di Maluku
a.
Kerajaan Ternate
Jauh
sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, kepulauan Maluku telah di kenal sebagai
daerah penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu nilainya sangat tinggi
dibanding dengan hasil bumi lainnya. Kedatangan Islam ke Indonesia bagian
Timur, yaitu ke daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dengan pusat lalu lintas
pelayaran dam perdagangan internasional, yaitu: Malaka, Jawa dan Maluku. Agama
Islam disebarkan melalui perdagangan, dakwah, dan melalui perkawinan menurut
cara Islam. Sejak datangnya bangsa Portugis dan Belanda ke daerah Maluku
menjadikan daerah tersebut sebagai ajang perebutan kekuasaan terhadap
rempah-rempah antara dua bangsa itu maupun dengan kerajaan lokal yang ada di
kepulauan Maluku (Harun, 1995:54). Kesultanan Terate didirikan oleh Baab Mashur
Malamo pada tahun 1257 M sekaligus menjadi kolano
pertama.
Ternate dan Tidore terkenal sebagai The Spice Islands atau Kepulauan Rempah-rempah
Hubungan
perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) juga sudah
diberitahukan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-kapal
dari Gresik milik Pate Yusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam adalah
Sultan Bern Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar sultan sedang
yang lainnya masih memakai gelar raja-raja di Tidore, gelar raja disebut Kolano. Kerajaan Ternate makin mengalami
kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik,
lebih-lebih setelah Sultan Hairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta
sekitar 1535 kerajaan Ternate berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku
Utara. Akan tetapi, persatuan daerah-daerah dalam kerajaan Ternate itu mulai
pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga orang-orang Spanyol ke
Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-rempah. Di kalangan
kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan, Portugis memusatkan
perhatiannya kepada Ternate sedangkan pedagang Spanyol kepada Tidore
(Tjandrasasmita & Manus, 2010:75). Untuk kepentingan perdagangan,
Kesultanan Ternate membangun persekutuan yang disebut Uli Lima, atau
persekutuan lima saudara yang terdiri dari lima wilayah yaitu Bacan, Obi,
Seram, Ambon, dan Ternate. Kesultanan Ternate mampu mengusir Portugis pada
tahun 1575 dibawah pimpinan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan
Baabullah, Ternate mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Sulawesi,
Bima, dan Mindanau (Filipina).
Perkembangan
ekonomi di Ternate berjalan dengan pesat. Hal ini terlihat dengan banyaknya
masyarakat yang menanam rempah-rempah, yang terkenal merupakan tanaman yang
sangat mahal harganya dan banyak peminatnya, bukan saja di kalangan Indonesia
sendiri, tetapi juga bangsa-bangsa asing yang datang ke Maluku. Terbukti dengan
masuknya bangsa Portugis ke kepulauan Indonesia tepatnya Maluku pada awal abad
ke-16 (1521) melalui Sulawesi dan berusaha menemukan jalur pelayaran dari Ternate
menuju Malaka melalui Kalimantan Utara, ini terjadi pertama kali pada bulan Mei
tahun 1522 oleh Garcia Henri Ques dan yang kedua dilakukan oleh Antonio de
Abreo. Namun usaha tersebut nampaknya belum membuahkan hasil yang memuaskan,
namun demikian bangsa Portugis tidak henti-hentinya mencari jalan agar usaha
yang dilakukan itu berhasil. Dan akhirnya kerajaan Ternate (Maluku) dapat
dikuasai bangsa Portugis, sehingga segala urusan mengenai perdagangan jatuh ke
tangan bangsa Portugis. Keberhasilan ini dicapai berkat usahanya yang dilakukan
pada tahun 1599 dengan bantuan armada yang memiliki persenjataan vang lengkap
serta berbarengan dengan datangnya bangsa Belanda yang disambut oleh masyarakat
Ternate yang oleh masyarakat Ternate Belanda bermusuhan dengan Portugis,
padahal sebenarnya keduanya sama-sama sebagai bangsa penjajah (Harun, 1995:56).
Wilayah kekuasaan Kesultanan
Ternate dan Tidore
b.
Kerajaan Tidore
Kerajaan atau Kesultanan Tidore berdiri
pada tahun 1322. Raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Caliati atau
Jamaluddin (1465—1486 M). Kerajaan Islam Tidore termasuk kerajaan yang
mempunyai pengaruh besar di samping kerajaan Ternate, baik dalam penyebaran
Islam di daerah Maluku maupun dalam mempertahankan kerajaannya dari pengaruh
Spanyol dan Portugis yang silih berganti hendak merebut dan menghancurkan
Tidore dengan jalan diplomasi politik monopoli rempah-rempah atau dengan
melangsungkan hubungan baik di awal kedatangannya, atau bahkan otoritas para
gubernur Portugis untuk menyatukan Tidore. Namun demikian, pada masa-masa
berikutnya Tidore hampir dapat dipararelkan dengan kerajaan Islam Ternate.
karena pada masa perkembangan Islam di dua kerajaan tersebut mendapat perhatian
besar dari bangsa Portugis dan Spanyol, di samping sebagai kerajaan Islam yang
besar di daerah Maluku. Kekuatan Tidore dalam menyebarkan Islam di Maluku,
sumbangsih raja-raja Tidore dalam membangun sarana-sarana keagamaan menyebabkan
Islam kuat di Tidore sekaligus menyebabkan kecemburuan dan keinginan Spanyol
dan Portugis untuk menghancurkannya. Dengan berbagai cara Portugis dan Spanyol
mengadu domba Ternate dan Tidore. bentuk kolusi Portugis terhadap raja Ternate
untuk mendukung posisi kerajaannya. Spanyol yang membela Tidore ketika bersaing
dengan Ternate, akhirnya menjadikan dua kerajaan Islam ini sering berselisih
paham dan saling berebut kekuasaan (Harun, 1995:61).
Komentar
Posting Komentar