Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


A.      Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
1.        Kerajaan Islam di Sumatra
a.        Kerajaan Samudra Pasai
Letak kerajaan Samudra Pasai lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nangri Aceh, diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275 M atau pertengahan abad ke-13 M. Kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan sultan pertamanya yang bernama Sultan Malik as-Shalih, wafat tahun 696 H (1297 M). Nama Sultan Malik as-Shalih sebagai sultan pertama kerajaan tersebut diceritakan pula dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, yang sebelumnya hanya seorang Kepala Gampong Samudra, bernama Marah Silu (Tjandrasasmita & Manus, 2010:22). Beberapa sumber sejarah yang menyebut tentang keberadaan kerajaan ini diantaranya adalah berita Marco Polo (1292) bahwa ia mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak telah beragama Islam. Keberadaan Kerajaan Samudera Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l- Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Beberapa sejarahwan juga memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya. 

Peta Kerajaan Samudra Pasai

Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudra Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya (Tjandrasasmita dalam Yatim, 2013:206). Sultan-sultan yang memerintah kerajaan Samudra Pasai berturut-turut adalah Sultan Malik as-Shalih (wafat 696 H/1297 M), Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik az-Zahir (lk. 1346-1383), Sultan Zain al-‘Abidin Malik az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?), dan Mahmud Malik az-Zahir (1513-1524) (Tjandrasasmita & Manus, 2010:23).
Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peran penting dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena erat hubungannya dengan kerajaan Samudra Pasai lebih-lebih dengan mengadakan hubungan pernikahan antara putra-putra Sultan dari Pasai dengan Malaka sehingga pada awal abad ke-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah kerajaan Islam Malaka, dimulai pemerintahan Paramisora (Tjandrasasmita & Manus, 2010:26). Kemakmuran Samudera-Pasai terjaga hingga sultan yang terakhir Sultan Zain al-‘Abidin (1513-1524). Mengenai hal ini, Tomé Pires, seorang pengelana Portugis, menyatakan saat perjalanannya di Nusantara pada awal abad ke-16 bahwa kesultanan Samudera-Pasai adalah kerajaan yang kaya dan sejahtera. Terdapat 20.000 penduduk di Pasai. Hasil bumi yang paling penting dari Samudera-Pasai adalah lada, sutera dan kapur barus (Yakin, 2015:277).
 Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Adanya mata uang membuktikan bahwa kerajaan ini saat itu merupakan kerajaan yang makmur. Kerajaan ini berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam (Yatim, 2013:207-208).
b.        Kerajaan Aceh Darussalam
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan Pedie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pedie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh, dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pedie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh. Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pedie, maka Sultan Ali Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sultan Ibrahim menjadi penguasa pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam (Harun, 1995:11).
Lokasi Kerajaan Aceh yang sangat strategis yaitu di daerah Jalur Sutera atau daerah jalur perdagangan utama, membuat kerajaan ini berpusat pada sektor perdagangan. Sehingga banyak titik pelabuhan di daerah kekuasaan Kerajaan Aceh yaitu sepanjang pantai Barat Sumatera. Perekonomian Kerajaan Aceh sangat bertumpu pada sektor perdagangan sehingga, pada masa Sultan Iskandar Muda (1607—1636) banyak mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan masalah perdagangan. Bisa dikatakan bahwa letak georgafis Kerajaan Aceh adalah faktor utama penyebab Kerajaan Aceh menjadi kerajaan dengan perdagangan sebagai sektor perekonomian utamannya.
Peta Kerajaan Aceh Darussalam

Puncak kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai seluruh seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatra. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar Muda tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Utsmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, sultan kemudian bekerjasama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris (Yatim, 2013:210).
Kekayaan alam dari kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607—1636), sangatlah melimpah, terutama pada hasil hutan, hasil tambang, lada, dan sutera. Informasi itu bisa diketahui dari catatan orang Perancis yaitu Augustin de Beaulie yang pernah pergi ke Aceh. Hasil hutan yang dihasilkan oleh kerajaan Aceh menurut Hikayat Aceh dalam Lombard (1986: 83) ialah guliga dan kasturi, madu dan malam, kapur barus, kemenyan, kayu celembak, kayu gaharu, kayu cendana, damar, cabai, dan temukus. Menurut Sufi (1995: 49), kota pelabuhan Singkel menghasilkan banyak kapur barus dan kemenyan yang banyak menghasilkan uang bagi penduduknya. Dari sana, bisa diketahui bahwa hasil hutan di Singkel digunakan penduduknya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk hasil tambang Kerajaan Aceh, yang menjadi hasil tambang utama adalah minyak tanah, belerang, dan emas. Daerah penghasil minyak tanah adalah daerah Deli yang juga merupakan daerah pelabuhan di Semanjang pantai barat kerajaan Aceh. Dari catatan de Beaulie dalam Lombard (1986: 85), belerang dihasilkan dari gunung yang letaknya enam jam dari Aceh, arah ke Pedir selain itu daerah Pulo-vay juga menghasilkan belerang. Dalam Hikayat Aceh, disebutkan bahwa Aceh adalah penghasil emas. Untuk daerah penghasil emas adalah Padang.
Di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera, terdapat daerah-daerah penghasil lada yang sangat melimpah seperti daerah Tiku, Pasaman, Padang, dan lainnya. Sufi (1995: 53), khusus di pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sumatera yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda menggunakan kekuasaannya untuk membeli sejumlah lada dengan harga murah untuk bisa diperdagangkan lagi ke pedagang-pedagang asing.
Untuk sutera, dihasilkan oleh daerah Pedir karena di sana banyak menghasilkan ulat sutera. Dari catatan de Beaulie dalam Lombard (1986: 87), disebutkan bahwa sutera dihasilkan dalam jumlah yang lumayan banyak di daerah sekitar Aceh. Sutera yang dihasilkan tidak sebagus sutera Tiongkok, meskipun begitu dapat dihasilkan kain taf yang lumayan bagus dari sutera Aceh.
Hasil-hasil alam yang telah disebutkan di atas, merupakan komoditi utama kerajaan Aceh beserta rakyatnya. Hasil-hasil alam tersebut diperdagangkan dan diekspor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti membeli bahan pangan seperti beras. Daerah-daerah kerajaan Aceh juga menghasilkan beras seperti Pedir, Daya dan lainnya, tetapi produksi beras di daerah tersebut tidaklah bisa mencukupi kebutuhan rakyat Aceh yang banyak. Selain itu, petani padi bukanlah suatu pekerjaan yang “presticious” bagi rakyat Aceh. Itu terjadi karena Aceh yang terletak di Jalur Sutera yaitu jalur perdagangan utama, sehingga rakyat Aceh lebih senang berdagang daripada harus bersusah payah menanam tanaman padi. Tidak mengherankan bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda, rakyat lebih suka membeli beras, sehingga Aceh menjadi pengimpor beras. Harga beraspun pada masa itu juga mahal.
Sultan Iskandar Muda yang membawa Aceh pada masa kejayaan

Pada awal abad ke-19 kerajaan Aceh Darussalam terus-menerus mengalami ancaman kolonialisasi Belanda yang terus-menerus meluaskan kekuasaan politiknya, tetapi di berbagai daerah di Nusantara tetap mengalami perlawanan. Di kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1873-1904 terjadi peperangan yang hebat yang terkenal dengan Perang Aceh dan merupakan peperangan yang hebat yang terkenal dengan Perang Aceh dan merupakan peperangan terlama, terkuat dan terbesar, karena didorong pula dengan dengan motivasi keagamaan melawan kafir yang terkenal dengan Perang Sabil.
Menurut Anthony Reid (2012:11), menyatakan bahwa pada tahun 1913, setelah 40 tahun berperang akhirnya Belanda dapat menaklukan Aceh. Kebijakan pengejaran terus-menerus, kontrol atas senjata untuk mencegak perlawanan rakyat Aceh.
2.        Kerajaan Islam di Jawa
a.        Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal abad XVI adalah Demak. Pada masa itu, Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik, walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak di pantai pada abad-abad berikutnya telah menjadikan Demak sekarang terletak beberapa kilometer dari laut (Ricklefs, 2001:90). Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah yang masih keturunan dari penguasa Majapahit, yakni putra dari Kertabhumi (Brawijaya V). Raden Patah diangkat menjadi raja oleh Wali Songo, sehingga kerajaan Demak tumbuh dan berkembang menjadi pusat kerajaan Islam pada akhir abad ke-15.
Tjandrasasmita & Manus (2010:52), berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515) Demak diberitakan merupakan kota besar dengan jumlah kurang lebih 8.000 atau 14.000. Penguasa Demak dikatakan Pate Rodim dan kakeknya berasal dari Gresik. Yang menarik perhatian kita Tome Pires juga memberitakan bahwa di daerah pedalaman masih ada kerajaan yang bercorak Hindu dengan rajanya Batara Vigiaya dan patihnya yang lebih berkuasa ialah Gusti Pate. Yang dimaksud Tome Pires dengan Batara Vigiaya jelas Brawijaya seperti terdapat pada babad-babad Brawijaya lebih kurang setengah abad sudah meninggalkan pusat kerajaan Majapahit dan pindah ke Daha atau Kadiri yang akhirnya jatuh pada tahun 1526 kepada kerajaan Demak.
Peta Kerajaan Demak

Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sabrang Lor, dikenal juga dengan nama Pati unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya, tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-151, tentaranya mengalami kekalahan besar. Pati Unus digantikan oleh Trenggana yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan (Yatim, 2013:211).
Sultan Trenggana meluaskan kekuasaanya ke Jawa bagian barat terutama mengirimkan pasukannya yang dipimpin oleh Fadhillah Khan yang berasal dari Pasai untuk menyerang Kalapa tahun 1527. Sebelum ke Kalapa ia dengan pasukannya singgah di Cirebon dan juga dengan dorongan Sunan Gunung Jati sebagai mertunya berangkat ke Kalapa dibarengi pasukan gabungan dari Cirebon. Dari arah barat pelabuhan Kalapa diserang sehingga armada Portugis di bawah Fransisco de Sa dipukul mundur dan Kalapa akhirnya dapat direbut dan kemudian Fadhillah Khan mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. Ke Jawa bagian Timur Trenggana juga meluaskan politiknya terutama menundukkan daerah-daerah yang masih beragama Hindu yaitu kecuali Kadiri tahun 1527, juga Tuban, Wirasari tahun 1528, Galegang (Madiun) tahun 1529, Lendangkungan tahun 1530, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535, Panurukan, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba antara tanhun 1541 dan 1542, Gunung Pananggungan tahun 1543, Mamengan Thanu tahun 1544, Sengguruh tahun 1545, Balambangan menurut Babad Sangkala diserang tahun 1546, tetapi Sultan Trenggana gugur sehingga kerajaann Balambangan belum Islam (Tjandrasasmita & Manus, 2010:54).
Sultan Trenggana digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Panangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian, kerajaan Demak berakhir dan dilanutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Panangsang (Yatim, 2013:212).
b.        Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang tamtama di kerajaan Demak di bawah pemerintahan Pangeran Trenggana, karena keahliannya ia dijadikan menantu oleh Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Aria Panangsang, ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui kekuasaan kerajaan Pajang. Demikian pula ia meluaskan pengaruhnya ke daerah pesisir utara, seperti Japara, Pati, bahkan ke arah barat sampai Banyumas. Setelah wafat tahun 1587 ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam pembunuhan Sunan Prawata. Peralihan pusat kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran pusat pemerintahan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sehingga terjadi perubahan sifat kerajaan maritim ke kerajaan agraris (Tjandrasasmita & Manus, 2010:55).
c.         Kerajaan Mataram
Mataram adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa modern yang paling kuat dan yang paling lama. Babad-babad Jawa menyebutkan bahwa seseorang yang bernama Kyai Gedhe Pamanahan telah berhasil menunaikan suatu tugas besar untuk Jaka Tingkir dari Pajang dengan membunuh lawan utamanya, Arya Penangsang dari Jipang, yang mungkin berlangsung pada tahun 1540-an atau 1550-an. Sebagai hadiahnya, Pamahanan dijanjikan akan diberi bumi Mataram, tetapi Jaka Tingkir lupa akan janjinya ini sampai Sunan Kalijaga ikut campur tangan dan mendesak supaya Jaka Tingkir memenuhi janjinya. Mungkin Pamanahan menepati daerah Mataram pada tahun 1570-an dan sesudah itu dia disebut Kyai Gedhe (atau Ki Ageng) Mataram di dalam cerita-cerita dongeng. Diperkirakan dia meninggal sekitar tahun 1584 (Ricklefs, 2001:97).
Peta wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang dan Mataram

Setelah wafat ia digantikan putranya, ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur dengan Panembahan Senopati. Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh senagai kerajaan bawahan Pajang, ia dengan sengaja mengbaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba atau sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram dengan jalan kekeasan dan kekuatan senjata. Ekpedisinya penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang meninggal dunia, momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk meproklamasikan dirinya sebagai penguasa seluruh Jawa (Harun, 1995:24).
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 M. Masa Kejayaan kerajaan Mataram saat diperintah oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati. Setelah Panembahan Senopati wafat diganti oleh Raden Jolang dari tahun 1601 sampai tahun 1613, menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede termasuk pembuatan Taman Danalaya, kolam (segaran), dan kompleks pemakaman Kota Gede. Karena ia meninggal di tempat perburuan (krapyak) tahun 1613. Ia terkenal pula dengan gelaran Panembahan Seda ing Krapyak. Penggantinya adalah cucu Panembahan Senopati yaitu Sultan Agung Senapati ing Alaga (Tjandrasasmita & Manus, 2010:56-57).
Mataram mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma

Sultan Agung memiliki nama kecil Den Mas Rangsang yang naik tahta pada tahun 1613 hingga wafatnya tahun 1646. Beberapa lama setelah naik tahta, ia segera mengirimkan ekspedisi penaklukan ke kerajaan di wilayah Jawa Timur. Usaha itu selalu berhasil, dengan tanpa mengalami kesulitan maka pada tahun 1615 Wirasaha dapat dikuasai menyusul Lasem (1616), Pasuruan (1617), Tuban (1619) dan Madura pada tahun 1624. Surabaya yang merupakan saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639. Dengan dikuasainya kerajaan-kerajaan di wilayah Jawa Timur ini maka sempurnalah kedudukan Mataram sebagai penguasa Jawa (Kartodirdjo dalam Harun, 1995:25-26).
Di masa pemerintahan Sultan Agung, terjadi kontak-kontak bersenjata dengan VOC, di mana pada tahun 1628-1629, Sultan Agung berusaha menyerang Batavia namun usaha itu akhirnya berkahir dengan kekalahan yang besar. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera mahkota. Sultan Agung wafat tahun 1646 M dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putera mahkota. Masa pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah reda dengan konflik. dalam setiap konflik, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama. Tindakan pertama dengan membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M) (Yatim, 2013:215).
Amangkurat I meninggal tahun 1677 karena pemberontakan Trunajaya. Ia digantikan oleh Amangkurat II. Sejak pemerintahan baik Amangkurat I maupun Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti tahun 1755 terus-menerus mengalami pengaruh politik VOC. Bahkan melalui perjanjian Giyanti itulah kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo) (Tjandrasasmita & Manus, 2010:59).
d.        Kerajaan Banten
Berdasarkan sumber-sumber lokal, antara lain Babad atau sejarah banten, Hikayat Hasanuddin, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, Babad Tjerbon dan ditambah sumber asing antara lain Portugis dan Cina, bahwa daerah Banten sebelum kesultanan 1525-1526, masih berada dibawah Kerajaan Sunda Padjajaran (Tjandrasasmita & Manus, 2010:65). Kesultanan Banten dirintis oleh tiga unsur kekuatan yaitu, kekuatan dari Cirebon, Demak, Banten. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dan diberi nama Kesultanan Banten (Djajadiningrat, 1983:214).
Peta wilayah Kesultanan Banten

Banten sebelum Islam berkuasa merupakan bagian Kerajaan Pasundan, hal ini dijelaskan oleh Boedhihartono (2009:141) sebagai berikut:
Sebelum Islam berkuasa, Banten merupakan bagian dari Kerajaan Pasundan atau Kerajaan Sunda dan dikenal sebagai Banten Girang atau Wahanten Girang, suatu kerajaan bawahan yang bertahan dari abad ke-10 hingga ke-16. Islam di Banten masuk sekitar 1524—1525 dan pengambil alih kekuasaan pertama adalah Sunan Gunung Jati atau Syeikh Syarif Hidayatullah, tetapi sebagai raja pertama adalah Maulana Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan putri Raden Trenggono dari Demak pada tahun 1526 dan diangkat sebagai Sultan tahun 1552. Sejak Malaka diduduki Portugis, Banten menjadi pelabuhan yang ramai. Pedagang dari berbagai bangsa mulai berdatangan ke Banten untuk memperoleh rempah-rempah baik dari Banten sendiri maupun dari Indonesia bagian timur. Awalnya Banten disinggahi pedagang Arab atau India, tetapi kemudian berdatangan pedagang dari Eropa seperti dari Portugis, Inggris, Belanda, Prancis, dan Denmark.
Sultan Maulana Hasanuddin, memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Demak. Pada sekitar abad ke-16 ternyata mengalami kemajuan pesat dan mencoba memperluas pengaruh ke daerah Jawa Barat. Namun, setelah masa kejayaan itu Demak mengalami masa suram sehingga Sultan Maulana Hasanuddin melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Demak. Akhirnya pada tahun 1552 Hasanuddin menjadi pemimpin Banten yang pertama dengan gelar Panembahan Surasowan. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin mengalami kemajuan pesat dibeberapa bidang, menurut Kosoh (1979:83—84) sebagai berikut:
Banten pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin mengalami kemajuan pesat, sebagai pelabuhan yang banyak dikunjungi pedagang-pedagang asing seperti orang-orang Portugis, Cina. Sebagai pusat penyebaran agama Islam, Banten berusaha mengislamkan seluruh wilayah Pajajaran. Bahkan penyebaran agama Islam itu meluas sampai Lampung, Bengkulu, dan daerah lain sekitar Tulangbawang. Dengan wafatnya Hasanuddin pada tahun 1570, pemerintahan Banten jatuh ke tangan putranya tertua yaitu, Maulana Yusuf.
Sultan Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa, pada masa pemerintahannya Banten mengalami puncak kejayaan dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya. Pengaruh dari penjajah yang sudah muncul pada masa pemerintahan sebelumnya tidak dibiarkan begitu saja, melainkan melakukan berbagai perlawanan. Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat teguh pendirian dan pantang mundur untuk melawan penjajah. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pendapat Tjandrasasmita dalam Kumpulan Makalah Diskusi (1995:36—38) sebagai berikut:
Banten mencapai puncak kejayaannya. Di bidang politik, Sultan Ageng Tirtayasa senantiasa dengan gigih menentang usaha-usaha memonopoli perdagangan dengan luar terutama rempah-rempah dari Maluku yang pada tujuan akhirnya penguasaan politik. Sultan juga mengadakan upaya-upaya pembangunan, perairan dan pertanian dalam rangka meningkatkan ketahanan Banten. Sejak itulah Sultan mengadakan pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan irigasi tetapi juga untuk memudahkan transportasi dalam gerak peperangan. Dalam upaya untuk meningkatkan kekuatan, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan usaha-usaha meningkatkan pertanian dan konsolidasi kekuatan dengan mengadakan hubungan-hubungannya dengan Lampung, Salebar, Bengkulu, Cirebon, dan lainnya. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Goa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku. Banten dalam usaha perdagangan dengan bangsa-bangsa lain terutama tentang komoditi rempah-rempah tidak hanya dihimpun dari daerahnya serta daerah-daerah pengaruhnya di Lampung dan lainnya, tetapi juga dari pusat rempah-rempah di Asia Tenggara yaitu Maluku. Usaha Sultan Ageng ke luar baik dalam bidang politik, diplomatik maupun dibidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain ditingkatkan pula. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark.
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengambil inisiatif untuk melancarkan politik perniagaan bebas dan mengusir orang Belanda dari Batavia. Perkembangan eknomi Banten pada saat pemerintahannya jauh lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya dan akhirnya menjadi saingan sekaligus ancaman besar bagi Batavia sedangakan orang-orang Eropa memiliki kantor dagang di Banten, sehingga mereka kawatir tersaingi oleh Banten.
Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa

Peperangan yang pernah dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa adalah peperangan tahun 1658–1659 di daerah Angke-Tangerang yang diakhiri dengan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang terdiri dari 12 pasal (Tjandrasasmita & Manus, 2010:68). Peperangan yang terjadi pada masa pemerintahannya untuk melawan VOC terus terjadi dari tahun ke tahun, sampai akhirnya pada tanggal 10 November 1681 dikirimkan Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana sebagai utusan diplomatik dikirim ke Inggris yang bertujuan untuk menjalin hubungan baik negara asing dengan wilayah Indonesia.
Perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa awalnya memberikan pencerahan, namun bibit-bibit kemunduran kerajaan Banten justru muncul pada saat pemerintahannya, dengan adanya perang kelompok yang dipimpin putranya sendiri yaitu Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau Sultan Haji yang dibantu oleh VOC telah mempengaruhi kekuatan Banten secara sedikit demi sedikit. Sebagai seorang ayah tentunya Sultan Ageng Tirtayasa juga memiliki perasaan yang serba salah, karena pada satu sisi ia harus melawan anaknya sendiri. Jatuhnya surasowan dan kemudian ditnangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa membuat bibit-bibit kemunduran itu menjadi jelas, ditambah lagi dengan adanya perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Haji dengan pihak VOC membuat Banten dalam kondisi terpuruk dan berakhirlah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.
Menurut Ekadjati (1997:22—23) kemunduran Banten dapat diketahui dari kedatangan VOC untuk pertama kali di Banten, adapun pendapatnya adalah:
Sesungguhnya sejak kedatangannya yang pertama di Banten (1596), hubungan antara Banten dengan orang Belanda diwarnai gejala kurang baik. Tetapi hubungan mereka yang tidak baik diawali oleh kehendak orang Belanda yang diwakili oleh kongsi dagang mereka (VOC) yang selalu mendesak Banten agar memberi hak monopoli atas perdagangan mereka di Banten. Namun hal tersebut ditolak oleh Banten karena bertentangan dengan kebijakan Banten yang menerapkan perdagangan bebas dan juga akan merugikan perdagangan dan usaha pelayaran Banten. Terjadi konflik besar antara keduanya, setelah VOC memperoleh tempat kedudukan di Batavia (1619). Puncak konflik terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang mengakibatkan terjadinya peperangan puluhan tahun lamanya. Perang tersebut baru berhenti setelah Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap, akibat penghianatan puteranya sendiri. Pada awal abad ke-19 pun terjadi lagi konflik senjata antara pasukan Banten dengan serdadu kolonial Belanda yang disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang pemerintahan Kolonial yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal H.W. Deandels. Konflik ini berakhir dengan ditangkap dan dibuangnya Sultan Banten ke Surabaya. Bahkan akhirnya, Kesultana Banten dihapuskan sama sekali dan wilayahnya digabungkan dengan wilayah Hindia Belanda. Berakhirlah keberadaan Kesultanan Banten pada perempatan pertama abad ke-19 M.

3.        Kerajaan Islam di Sulawesi
a.        Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Alauddin (1591-1636) adalah sultan pertama yang menganut agama Islam tahun 1605 (Yatim, 2013:223).
Wilayah kekuasaan Kesultanan Gowa-Tallo di Sulawesi

Raja yang paling terkenal dari Gowa adalah Sultan Hasanuddin. Dalam sejarah kerajaan Gowa, Sultan Hasanuddin berusaha mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi VOC. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, tetapi setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC di dekat perairan Malaka, ternyata ada orang Makassar dan dari orang inilah ia mendapat berita mengenai pentingnya pelabuhan Sombuopu sebagai pelabuhan transito terutama mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada waktu kapal VOC berada di Perairan Banda dicobanya mengirimkan surat kepada raja Gowa untuk bersahabat hanya untuk perdagangan. Raja Gowa mengundang orang VOC ke Sumbaopu, ternyata VOC mulai menunjukkan tanda-tanda perilaku memaksakan kehendaknya terutama mengenai perdagangan rempah-rempah dari daerah Maluku. Pada tahun 1616 ketika sebuah kapal Belanda turun di Sumbawa orang-orangnya dibunuh, dan inilah yang membuat Y.P. Coen di Batavia marah. Pihak kerajaan Giwa menganggap VOC sebagai “perdagangan penyelundupan”.  Sejak itulah permusuhan antara kerajaan Gowa dan VOC tidak ada hentinya. Pada tahun 1634 VOC memblokade kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berdamai antara tahun 1637-1638 (Tjandrasasmita & Manus, 2010:80).
Sultan Hasanuddin yang memiliki juluan Ayam Jantan dari Timur

Namun perjanjian damai tersebut tidak bertahan lama, perang antara Gowa dan VOC tidak bisa dihindarkan. Akhirnya VOC bersekutu dengan Arung Palaka, penguasa Bone yang ingin lepas dari Gowa. Akhirnya persekutuan itu dapat menundukkan Sultan Hasanuddin dengan adanya perjanjian Bungaya/ Bongaya pada tahun 18 November 1667. Isi dari perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut:
-          -VOC memperoleh hak untuk memonopoli perdagangan di Makassar,
-          -Belanda mendirikan benteng di Makassar dengan nama Benteng Rotterdam,
-    -Makassar melepaskan daerah-daerah kekuasaanya seperti Bone dan pulau-pulau lain di sekitar Makassar,
-          -Mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone.
4.        Kerajaan di Maluku
a.        Kerajaan Ternate
Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, kepulauan Maluku telah di kenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu nilainya sangat tinggi dibanding dengan hasil bumi lainnya. Kedatangan Islam ke Indonesia bagian Timur, yaitu ke daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dengan pusat lalu lintas pelayaran dam perdagangan internasional, yaitu: Malaka, Jawa dan Maluku. Agama Islam disebarkan melalui perdagangan, dakwah, dan melalui perkawinan menurut cara Islam. Sejak datangnya bangsa Portugis dan Belanda ke daerah Maluku menjadikan daerah tersebut sebagai ajang perebutan kekuasaan terhadap rempah-rempah antara dua bangsa itu maupun dengan kerajaan lokal yang ada di kepulauan Maluku (Harun, 1995:54). Kesultanan Terate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257 M sekaligus menjadi kolano pertama.
Ternate dan Tidore terkenal sebagai The Spice Islands atau Kepulauan Rempah-rempah

Hubungan perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) juga sudah diberitahukan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-kapal dari Gresik milik Pate Yusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam adalah Sultan Bern Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar sultan sedang yang lainnya masih memakai gelar raja-raja di Tidore, gelar raja disebut Kolano. Kerajaan Ternate makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik, lebih-lebih setelah Sultan Hairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta sekitar 1535 kerajaan Ternate berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara. Akan tetapi, persatuan daerah-daerah dalam kerajaan Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga orang-orang Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-rempah. Di kalangan kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan, Portugis memusatkan perhatiannya kepada Ternate sedangkan pedagang Spanyol kepada Tidore (Tjandrasasmita & Manus, 2010:75). Untuk kepentingan perdagangan, Kesultanan Ternate membangun persekutuan yang disebut Uli Lima, atau persekutuan lima saudara yang terdiri dari lima wilayah yaitu Bacan, Obi, Seram, Ambon, dan Ternate. Kesultanan Ternate mampu mengusir Portugis pada tahun 1575 dibawah pimpinan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Ternate mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Sulawesi, Bima, dan Mindanau (Filipina).

Perkembangan ekonomi di Ternate berjalan dengan pesat. Hal ini terlihat dengan banyaknya masyarakat yang menanam rempah-rempah, yang terkenal merupakan tanaman yang sangat mahal harganya dan banyak peminatnya, bukan saja di kalangan Indonesia sendiri, tetapi juga bangsa-bangsa asing yang datang ke Maluku. Terbukti dengan masuknya bangsa Portugis ke kepulauan Indonesia tepatnya Maluku pada awal abad ke-16 (1521) melalui Sulawesi dan berusaha menemukan jalur pelayaran dari Ternate menuju Malaka melalui Kalimantan Utara, ini terjadi pertama kali pada bulan Mei tahun 1522 oleh Garcia Henri Ques dan yang kedua dilakukan oleh Antonio de Abreo. Namun usaha tersebut nampaknya belum membuahkan hasil yang memuaskan, namun demikian bangsa Portugis tidak henti-hentinya mencari jalan agar usaha yang dilakukan itu berhasil. Dan akhirnya kerajaan Ternate (Maluku) dapat dikuasai bangsa Portugis, sehingga segala urusan mengenai perdagangan jatuh ke tangan bangsa Portugis. Keberhasilan ini dicapai berkat usahanya yang dilakukan pada tahun 1599 dengan bantuan armada yang memiliki persenjataan vang lengkap serta berbarengan dengan datangnya bangsa Belanda yang disambut oleh masyarakat Ternate yang oleh masyarakat Ternate Belanda bermusuhan dengan Portugis, padahal sebenarnya keduanya sama-sama sebagai bangsa penjajah (Harun, 1995:56).
Wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate dan Tidore

b.        Kerajaan Tidore
Kerajaan atau Kesultanan Tidore berdiri pada tahun 1322. Raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Caliati atau Jamaluddin (1465—1486 M). Kerajaan Islam Tidore termasuk kerajaan yang mempunyai pengaruh besar di samping kerajaan Ternate, baik dalam penyebaran Islam di daerah Maluku maupun dalam mempertahankan kerajaannya dari pengaruh Spanyol dan Portugis yang silih berganti hendak merebut dan menghancurkan Tidore dengan jalan diplomasi politik monopoli rempah-rempah atau dengan melangsungkan hubungan baik di awal kedatangannya, atau bahkan otoritas para gubernur Portugis untuk menyatukan Tidore. Namun demikian, pada masa-masa berikutnya Tidore hampir dapat dipararelkan dengan kerajaan Islam Ternate. karena pada masa perkembangan Islam di dua kerajaan tersebut mendapat perhatian besar dari bangsa Portugis dan Spanyol, di samping sebagai kerajaan Islam yang besar di daerah Maluku. Kekuatan Tidore dalam menyebarkan Islam di Maluku, sumbangsih raja-raja Tidore dalam membangun sarana-sarana keagamaan menyebabkan Islam kuat di Tidore sekaligus menyebabkan kecemburuan dan keinginan Spanyol dan Portugis untuk menghancurkannya. Dengan berbagai cara Portugis dan Spanyol mengadu domba Ternate dan Tidore. bentuk kolusi Portugis terhadap raja Ternate untuk mendukung posisi kerajaannya. Spanyol yang membela Tidore ketika bersaing dengan Ternate, akhirnya menjadikan dua kerajaan Islam ini sering berselisih paham dan saling berebut kekuasaan (Harun, 1995:61).





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akulturasi dan Integrasi Masa Kerajaan Islam di Indonesia